•●♥ About FeiwenZ ♥●•
Born at Jakarta in 1992.
A designer who loves music, games, and internet-friendly.
Great fan of Cinnamoroll cartoon character published by Sanrio.
Creative, fast learner, cheerful, hardworker, and friendly are 5 words to describe her.
Graduated in 2009 from Budi Mulia Senior High School.
Then, she took Design major in Tarumanagara University until present.
She finds experience by working freelance as a designer, photographer, and writer. She took part time jobs since High school as a Freelance Sales and Product Consultant.

Monday, July 25, 2011

8. A Series of Unfortunate Events

Kulirik layar handphoneku yang masih kosong sambil menggigit bibir.

"Uda, telpon aja lah Va." Frey menghantuiku dengan giat.

"Kalo di reject gimana?" kataku dengan kuatir

"Kaga bakalan. Percaya deh sama gue."

"Tapi...elo yakin ini nomor hpnya dia?" aku memastikan.

"Gue dapet dari sumber terpercaya. Anak basket juga. Udah, ga usa kelamaan mikir. Telpon gih."

Aku membulatkan tekad untuk meminta maaf pada Lexi.
Setelah tahu dari Frey yang sebenarnya bahwa orangtua Lexi sudah bercerai, perasaan menyesal menerorku 3 hari ini.
Bukan hanya berprasangka, aku juga mengucapkan kata kasar padanya.
Bahkan aku meninggalkannya tanpa memberinya kesempatan menjelaskan.
Dan jackpotnya lagi, semua itu terjadi di hari ulang tahunnya yang ke 21!
Wahai segala dewa dewi yang ada di mitologi,...apakah ada kejahatan yang lebih parah dari itu semua?

Kutekan tombol 'dial' dan menempelkan handphone di telingaku.
Terdengar nada sambung selama 30 detik kemudian tidak ada jawaban.
Sekali lagi, kutelpon nomor itu.
Di detik ke 10, telponku diangkat.

"Halo? Ini siapa?"

"Lex...ini Eva."

"Lexi nya lagi latian basket. Ke lapangan aja. Dia gak megang hp." kata suara yang mengangkat telponku itu.

"Hah? Lap..." Telpon terputus sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku.

"Gimana?" Frey bertanya menyelidiki.

"Gue disuruh ke lapangan. Katanya dia lagi latian."

"Yaudah samperin gih."

"Temenin yuk?" kupasang tampang memelas.

"Nggak bisa. Gue hari ini mesti buru - buru. Maaf yah..."

Mau tidak mau, kulangkahkan kakiku ke lapangan basket sendirian.
Jantungku semakin tidak karuan saat terdengar suara bola basket membentur ring berkali - kali.
Bagaimana jika teman - temannya melihatku dengan tatapan aneh?
Apalagi jika dia menolak permintaan maafku di depan banyak orang?
Tapi, sudah tidak keburu lagi untuk berubah pikiran.

"Permisi..." aku berkata sambil membuka pintu lapangan basket indoor yang ada di sana.

Lexi menoleh ke arahku. Ya, pandangannya lurus tepat ke arahku.
Tapi anehnya, hanya ada Lexi sendiri.
Selebihnya, lapangan kosong melompong.
Lexi yang kebingungan langsung salah tingkah dan memungut bola basket dari lantai.
Dia menghampiriku yang masih membatu.

"Nyari siapa?" dia bertanya dengan ekspresi dingin.

"Elo..."

"Nyari gue? Ngapain? Mau ngomel part 2?"

Beku adalah kata keterangan yang paling tepat untuk menggambarkan ekspresinya saat itu.
Biasanya dalam semenit dia sudah iseng, meledekku, atau minimal tertawa.
Sekarang hanya kalimat ketus yang terlontar darinya.
Kutarik nafas panjang dan mengumpulkan keberanian.

"Maaf. Soal kemarin emang gue yang salah. Gue seenaknya narik kesimpulan dan udah ngomong kasar ke elo..." kataku tanpa terhenti titik koma. "Gue rela kalo elo marah ke gue dan nggak bisa maafin gue. Tapi setidaknya gue udah ngasih tau bahwa gue nyesel banget."

Aku segera berbalik pergi dan ingin kabur dari tempat itu.

"Mau kemana?" Lexi menghadangku. "Gue belom ngomong sepatah kata pun, main pergi aja."

Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap wajahnya.
Pasti dia sedang melotot sekarang.
Dia akan menampakkan wajah emosi hingga matanya mau meloncat keluar.

Tiba - tiba jidatku disentil pelan.
Tanpa aba - aba, aku langsung mengangkat kepala hendak ngomel padanya.
Tapi yang kudapati di sana malah Lexi sedang tersenyum lebar.

"Wah...mestinya tadi gue rekam kalimat lo. Gile...jantung gue hampir berenti saking shocknya elo minta maaf."

Aku langsung cemberut.
Aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi omelannya, emosinya, atau mungkin maki - makian.
Tapi aku sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk diledek!

"Eh, gue udah serius kok malah diketawain sih? Rese' lo ah..."

"Heh, dimana - mana orang minta maaf tu pasang muka memelas. Kok malah galak ke gue?" dia membalas.

"Heh, dimana mana juga orang minta maaf ya dijawab 'maafin' atau 'gak', bukan malah ngeledek!" aku membalas makin galak.

"Iya, gue maafin. Jangan galak lagi dong."

Dia mengacak - acak rambutku yang sudah berantakan ini.
Dia tertawa seperti biasa.
Ketegangan yang semula ada diantara kami, perlahan mencair.

"Tapi...elo maafin gue tulus kan? Udah nggak marah lagi kan?" aku bertanya untuk memastikan.

"Gue sejak awal emang nggak pernah marah kok."

"Lah terus barusan sok galak itu apaan kalo bukan marah?"

Lexi merapikan rambutku yang semula diacak - acak olehnya.

"Gue pikir elo benci sama gue. Gue pikir elo nggak suka kalo ada deket gue...."

"Kapan pernah ngomong gitu? Biasa aja sih... Cuma tingkah elo suka aneh si. Makanya kemarin itu gue keburu negatif thinking..."

"Berarti bukan salah gue dong? Salah elo negatif thinking duluan."

"Iya, makanya gue minta maaf. Udah si, jangan diomongin lagi soal kemaren itu. Gue ngerasa bego' banget kalo diinget - inget."

Lexi mengangguk tanda setuju.
Dia berjalan memasukkan bola ke dalam tasnya yang berada di bangku penonton.
Kemudian menentengnya dan mengajakku meninggalkan lapangan.

"Nggak jadi latihan? Kok bolanya dimasukin? Yang lain pada kemana?" aku bertanya bertubi - tubi.

"Nah, justru itu gue bingung. Harusnya hari ini nggak ada latihan. Tapi barusan gue ditelpon Kevin disuruh ke lapangan basket. Katanya ada yang mau diomongin."

"Terus, kenapa kita pergi? Gak nungguin Kevin?"

"Udah jelas kan sebabnya? Gue dikerjain sama dia. Pasti elo kesini juga disuruh dia kan?"

Aku mencerna kalimat Lexi barusan.
Memang sih, rasanya agak aneh telpon yang barusan itu.
Bila yang kutelpon memang benar Lexi, harusnya dia sendiri yang mengangkat.
Wah...berarti ini memang ulahnya Kevin itu.

Aku mengikuti Lexi berjalan menuju kantin.
Di pojok ada meja tempat ngumpul dan nongkrong unit basket.
Saat Lexi jalan mendekat, cowok - cowok yang ada di sana saling sikut dan berbisik - bisik.
Seorang cowok bangkit berdiri dan mengulurkan tangan kepadaku.

"Gue Kevin. Elo Eva kan?"

Aku hanya mengangguk cepat dan membalas salaman yang dia ulurkan.

"Sori yang barusan elo telpon itu nomor gue. Hehehe..." Kevin tertawa terkekeh kekeh.

"Kan, bener ternyata elo yang ngerjain gue. Rese' lo bro." Lexi memukul pelan lengan temannya itu.

"Habisnya, dari kemaren elo uring - uringan gitu. Gue pikir pasti gara - gara cewek. Dan ternyata...bener kan?"

"Bener apanya? Sok tau aja..."

Kevin kemudian mendekatiku dan berbisik pelan padaku.

"Dari kemaren dia gak konsen di kelas sama di lapangan. Sebelomnya dia nggak pernah kayak gini gara - gara cewek. Makanya, jangan galak - galak sama cowo' lo."

Aku mundur selangkah dan menghindari Kevin yang berdiri terlalu dekat dariku.

"Dia bukan cowok gue. Siapa yang bilang ke elo begitu?" aku membantah

"Temen gue. Dia yang pingin elo berdua baikan. Namanya...Martin. Kenal kan?" Kevin menjawab dengan santai.

Aku menepuk dahi. Ternyata kasus ini masih berlanjut.
Dan sialnya, Martin, Kevin, ataupun semua anak basket yang ada di sini menyangka bahwa aku adalah pacar Lexi.
Dengan cepat, kutarik Lexi menjauh dari sana untuk bicara 4 mata.
Kami pergi dari kantin diiringi sorak sorai teman - temannya Lexi.

"Mampus gue...! Ternyata temen lo ada yang kenal Martin?"

"Lah, mana gue tau? Emangnya gue facebook, bisa tau siapa aja mutual friend nya temen - temen gue?"

"Sekarang semua pikir kita jadian, tau!" kataku dengan nada yang semakin panik.

"Terus kenapa?"

"Kok elo bisa santai gini sih? Gak kuatir sedikitpun gitu?"

"Terus, elo maunya gue gimana? Panik kayak elo?" Lexi bertanya balik. "Kalo mereka pikir kita jadian, ya sekalian aja jadian beneran. Susah amat?"

Aku terpaku mendengar kalimat Lexi barusan.
Seenteng itukah dia menganggap pacaran?
Dasar playboy!

"Gue ogah kalo jadian beneran sama elo. Buat womanizer kayak lo, emang jadian tuh cuma main - main. Tapi buat gue, jadian itu serius."

"Kok tiba - tiba elo kasih julukan gitu ke gue? I'm not a womanizer." Lexi membantah sambil cemberut.

"Terus apa dong julukannya? Penjahat kelamin? Playboy? Atau...Pria Penggoda?"

"Nggak usah kasih julukan aneh - aneh ke gue. Jadi, mau nggak elo jadi cewek gue?"

Kali ini ekspresi wajahnya tampak serius.
Aku menatap dalam - dalam ke matanya.
Kejadian ini terlalu konyol buatku.
Tapi, kami sudah terlanjur kejepit di situasi ini.
Jika aku menolak, kemungkinan Martin akan ribut dengan Frey, teman - teman Lexi di unit basket akan menjadikannya bahan omongan.

Otakku berpikir keras. Lebih keras daripada saat ujian akhir.
Haruskah pacar pertamaku adalah seorang Lexi, cowok menyebalkan yang membuatku selalu tertimpa kejadian buruk beberapa hari ini?
Teman - teman Lexi mulai mengintip dari arah kantin.
Aku semakin salah tingkah diperhatikan seperti itu.

"Lexi...gue..." aku menjawab terbata - bata.

Sepertinya aku akan menyesali jawaban yang kuberikan tanpa kupikir panjang ini.

No comments:

Post a Comment

I'm looking forward to your comments and critics so I can make a better blog in the future. Thx a Lot. G.B.U.-Fei-