•●♥ About FeiwenZ ♥●•
Born at Jakarta in 1992.
A designer who loves music, games, and internet-friendly.
Great fan of Cinnamoroll cartoon character published by Sanrio.
Creative, fast learner, cheerful, hardworker, and friendly are 5 words to describe her.
Graduated in 2009 from Budi Mulia Senior High School.
Then, she took Design major in Tarumanagara University until present.
She finds experience by working freelance as a designer, photographer, and writer. She took part time jobs since High school as a Freelance Sales and Product Consultant.

Monday, July 25, 2011

22. Forgiving

Aku terbangun dengan kepala pusing.
Kupegang dahiku sendiri.
Sepertinya aku masuk angin.
Kuingat - ingat kembali kejadian kemarin.

Seperti ada duri tersangkut diantara jantungku, rasanya menyebalkan mengingat kejadian kemarin.
Kalimat Lexi terngiang - ngiang di telingaku.

"Dia...mantan..."

Aku melempar bantal ke lantai.
Kesal sekali rasanya!
Memang, Lexi kemarin itu bilang bahwa dia tidak punya pacar.
Tapi, hubungannya dengan perempuan itu tidak jauh beda : Mantan.

Aku tidak mengerti hubungan antara pacar-mantan.
Aku sendiri belum pernah punya mantan pacar.
Jadian saja baru dengan Lexi!
Tapi setahuku...tidak ada mantan pacar yang masih akrab dan menelpon dengan mesra.

Hmm....apakah itu bisa kukategorikan mesra?
Entahlah, yang jelas rasanya sakit sekali hatiku.
Kulirik handphone yang bergambar wallpaper fotoku dan Lexi.
Baru saja 2 hari kami jadian, sudah ada tragedi seperti ini.

Bahkan sekarang melihat foto kami berdua yang sedang tersenyum rasanya makin sebal.
Segera kuganti wallpaper dengan fotoku sendiri.
Notification menyatakan ada 11 sms baru.
Tidak salah? Ya. 11 sms.
Kubuka inbox yang menampilkan pengirim sms tersebut.

Tidak kurang, semua 11 sms dari Lexi.
Smsnya kubuka satu demi satu.

"Eva...maaf."

Aku mendengus membaca sms tersebut.
Kalau cuma maaf, dari kemarin juga dia sudah mengucapkannya!

"Eva...I'm sorry"

Yang ini tidak jauh berbeda.

"Bulet...please jangan marah. Gue nyesel banget."

Ih,...nggak usah sok memanggilku dengan julukan itu!
Memangnya dia pikir aku senang dipanggil bulet di saat seperti ini?!
Sms lain pun isinya tidak jauh berbeda. 
Hanya ada sebuah sms terakhir yang panjang sekali.

"Eva...aku tau aku salah. Aku nggak akan ulangin hal itu. Janji sumpah mati. Please untuk kali ini maafin aku. Aku bakal lakuin apapun untuk kamu maafin. "

"Bullshit." aku mencetuskan kata itu selesai membaca sms darinya. "Pake aku-kamu an segala. Emang dikira bakal gue maafin kalo' ngomong gitu doang?"

Dari penelitian yang kubaca, cowok baru mengaku salah setelah ketahuan salahnya.
Dan 80%, nggak sungguh - sungguh merasa bersalah.
Dan...janji yang disertai sumpah itu biasanya janji yang paling pertama dilanggar.
Dan...kalau dia bilang mau lakuin apapun berarti dia udah kehabisan cara untuk ngeyakinin pasangannya.

Memangnya kalau kusuruh ninggalin Lyn, dia mau?
Kalau kusuruh menghapus nomor handphone Lyn, dia langsung bersedia?
Kalau...kubilang jangan pernah berhubungan dengan Lyn, dia oke saja?
Kemarin saja ngobrol di telpon begitu senangnya.

Ah! Makin kuingat rasanya makin kesal!
Kuputuskan untuk mandi saja untuk menenangkan pikiran.
Sms dari Lexi tidak ada yang kubalas.
Kejam? Memang. Tapi menurutku hal kemarin yang dia lakukan pantas untuk diberi pelajaran.
Kuacuhkan 2 hari sepertinya hukuman yang pantas.

Seusai mandi dan berpakaian, aku menuju lantai bawah.
Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi, tapi papa belum ada di meja makan.
Padahal kemarin papa janji untuk sarapan bareng.
Aku menuju dapur dan mendapati Mbak Ti sedang memanggang roti.

"Mbak, papa mana?"

"Oh Va. Bapak kemarin sore mendadak harus ke Bangkok katanya. Kamu lagi pergi sih, jadinya nggak sempat pamitan."

Aku menghela nafas dengan lemas.
Papa selalu seperti itu. 
Baru saja pulang dari Singapur, sudah ke Bangkok lagi.
Sepertinya airport dan negri sebrang sudah jadi rumah keduanya.

Tapi aku harus maklum. 
Sebab dari kesibukan papa itulah, aku bisa tinggal di rumah sebesar ini.
Aku bisa makan setiap harinya, dan kuliah tanpa pusing soal biaya.
Cuma satu efek buruknya; rasanya sepi sekali.

Aku naik kembali ke kamar tidur dan berbaring di ranjang.
Kugulingkan badan ke kanan dan ke kiri.
Kuraih handphone dan memutar lagu.
Selang lagu pertama,...bosanku tidak juga hilang.

Kumatikan lagu dan kuletakkan handphone dibawah bantal.
Tepat saat itu, handphoneku berdering.
Ada telpon dari nomor tidak dikenal.

"Halo? Siapa ni?" aku bertanya.

"Va...ini Alex. Gue udah depan rumah elo."

Aku kaget dan bangkit berdiri.
Kuintip dari jendela, terlihat dia sedang duduk di atas motor dan melambaikan tangan padaku.
Sekilas kok, mirip Lexi. 
Tapi, kuperhatikan motornya, itu bukan motor Lexi.
Aku turun dan maju ke gerbang depan.

"Kenapa? Kok bisa tau rumah gue?" aku bertanya.

"Iya. Ehmm...nanya sama Lexi."

Mendengar namanya disebut, wajahku langsung masam.

"Boleh gue masuk?" dia bertanya.

"Mau ngapain emang?"

"Nggak, pingin masuk doang."

Aku bingung dengan kedatangan Alex yang mendadak tanpa tujuan yang jelas.
Tapi, karena aku memang sedang tidak ada kegiatan apapun akhirnya kuijinkan dia masuk.
Kami duduk di ruang tamu, sambil aku menyalakan TV.

"Elo kok tumben kemari? Gue masih bingung..." kataku membuka pembicaraan.

Pandanganku tertuju ke layar TV.
Alex duduk tepat di sebelahku.

"Elo...lagi berantem sama Lexi ya?" mendadak Alex bertanya.


"Dia yang cerita?" aku langsung menoleh dengan cepat kepada Alex.

Aku meletakkan remot TV sambil mengecilkan suaranya.

"Gini, bukan ribut sih. Tapi gue lagi kesel sama dia." aku menjelaskan.

"Emang sih, dia salah. Tapi menurut gue dia pasti punya alesan ngelakuin itu."

Aku mengkerutkan dahi dan mengambil posisi duduk menghadap Alex.

"Alesan apa lagi Al? Nih, sekarang gue tanya ke elo. Dia kemarin bilang sendiri kan' ke elo, bahwa gue udah...jadian sama dia. Tapi masih telponan mesra sama mantan?" aku protes.

"Tapi kata elo' karna dia gak nembak jadinya nggak sah?"

"Itu cuma omongan emosi doang. Sebenernya bagi gue sih,...ehmm....kita berdua udah jadian sejak 2 hari lalu." aku berdeham.

Alex hanya meng-oo kan panjang dan tertawa kecil.

"Gue kira elo serius waktu ngomong gitu...."

Aku memasang wajah bingung.

"Kok jadi elo yang hepi?"

"Ha?" Alex terkejut dari lamunannya. "Ya, lucu aja si menurut gue. Ehmm...sekarang gue lanjutin ya ceritanya."

Aku mengangguk dan mengambil posisi sebagai pendengar yang baik.

"Mereka emang jadian semasa SMA kelas 3. Itupun cuma setahun. Abis itu...Lynnia pergi ke Aussie buat kuliah. Dipaksa bokapnya." Alex menjelaskan.

Hah? Ternyata nama cewek itu Lynnia. Di hp Lexi malah namanya 'LuvLyn'.
Aku semakin emosi saja.
Tapi kutahan geraman di dalam hati.

"Kemaren itu, dia balik kesini setelah lulus. Dia nerusin perusahaan bokapnya."

"Lho, kok udah lulus? Bukannya kalian seumur?"

"Iya, tapi kuliah diluar negri lebih cepet...."

Aku mengangguk - angguk saja.
Jadi, sekarang jelaslah sudah mengapa kemarin Lexi terlihat sangat senang menerima telpon dari Lyn.
Dengan pahit, aku berusaha meluruskan faktanya.

"Jadi,...biar gue tebak. Mereka sebenarnya masih saling sayang, tapi dipaksa putus sama bokapnya Lyn?"

Alex terdiam dan tidak merespon kata - kataku.

"Eva..." Alex seolah ingin berkata sesuatu.

"Thanks ya Al, elo udah jelasin ini ke gue. Dengan begini gue bisa lurusin feeling gue ke Lexi."

"Lurusin gimana?" Alex bingung sendiri.

"Ya...gue nggak mau jadi penghalang antara dia dan Lyn. Gue biarin mereka bersatu, seperti yang seharusnya." aku bangkit berdiri.

"Va. Jangan gitu dong!" Alex menarik tanganku. "Keadaannya nggak gitu. Jangan seenaknya narik kesimpulan."

"Terus apa, Al?" aku bertanya dengan getir.

"Gue cuma bingung sama perasaan gue. Gue udah ngelupain Lyn. Dan gue makin sadar setelah kita ribut kemarin, bahwa dia udah nggak ada di hati gue. Berkat...elo."

Aku terdiam seribu bahasa.
Kuperhatikan sepasang mata itu.
Ya...itu bukan Alex.
Yang duduk di depanku ini Lexi, bukan Alex.

"Eva...gue serius. Gue semaleman udah mikir dan udah lurusin perasaan gue. Sekarang udah gue hapus segalanya tentang dia. Bagi gue, elo jauh lebih berharga daripada dia. Gue dan dia, udah masa lalu."

Aku menarik tanganku dan melepaskan dari pegangannya.

"Ngapain elo bohongin gue?! Ngapain nyamar jadi Alex?" aku bertanya setengah membentak padanya.

"Kalo nggak gini, elo nggak akan ngasih kesempatan untuk gue jelasin."

Rasanya kesal sekali dibohongi mentah - mentah begini.
Tapi, melihat keseriusan di matanya, haruskah aku percaya?
Aku menggigit bibir dan berpikir seribu kali lebih keras daripada biasanya.
Apakah Lexi layak untuk kupercaya?

"Eva..." Lexi mendadak bersimpuh di depanku.

Ya, kuulangi. Dia berlutut di hadapanku!

"Gue janji, nggak akan kejadian kayak kemarin lagi. Gue mesti gimana lagi, untuk yakinin elo?"

"Ngapain sih, berlutut gini?!" aku menariknya untuk berdiri.

"Gue pingin elo percaya. Ngasih gue kesempatan sekaliiiiii lagi."

Wajahnya sangat memelas.
Harus kuakui, kesungguhannya sangat terlihat.
Aku menghela nafas dan kembali duduk di sofa.

"Sini duduk." Aku menepuk sofa di sebelahku.

Lexi duduk dan memperhatikan setiap kata yang kuucapkan.

"Pertama....jujur kemarin gue kecewa banget. Bagi gue, elo nelpon mantan dan masih ngomong kangen atau sayang, itu jahat banget." aku mengawali.

"Iya...maaf..." Lexi tertunduk lemas.

"Tapi...gue kasih elo satu kesempatan terakhir. Gue pegang semua omongan elo barusan. Gue harap elo bisa buktiin."

Lexi langsung memegang kedua tanganku dengan mata berbinar - binar.
Mengingatkanku pada Miffy yang mengincar bola karet.
Lho, kenapa aku jadi menyamakan dia dengan Miffy?

"Gue janji, Va. Nggak akan ngecewain elo lagi."

Aku mau tidak mau akhirnya tertawa melihat wajah Lexi yang seperti mendapat jackpot 1 milyar.
Lexi melepaskan tanganku dan merogoh sakunya.
Dia mengeluarkan sesuatu dan melingkarkan tangannya di belakang leherku.

"Apaan nih?" aku bingung.

Seusai memakaikan benda...yang ternyata kalung itu, Lexi mengangkat daguku dengan tangannya.

"Shelva..."

Aku menelan ludah karena grogi dengan tatapannya.

"Napa Lex?"

"Will you be my girlfriend? Mulai sekarang, sampai seterusnya? Biar kalung ini jadi lambang sayang gue ke elo...."

Lexi merogoh dibalik kaosnya dan mengeluarkan kalung dengan bandul yang sama.

"Dan kalung yang sama, sebagai tanda bahwa hati ini cuma untuk elo..."

Oh My God...jantungku berdebar sangat keras.
Aku tidak menyangka bahwa, bukan hanya berbaikan tapi dia juga menghadiahkanku sebuah kalung.
Kalung yang dijadikannya lambang rasa sayangnya...padaku?
Wajahku rasanya panas. Senyumku mengembang sangaat lebar.

Aku mengangguk dan mengulurkan kelingking tangan kananku.

"Janji...cuma sayang sama gue?"

Lexi tertawa, lebih tepatnya menertawaiku.

"Kok' kayak janji anak kecil?" dia menunjuk kelingkingku.

Aku manyun dan mendengus.

"Yaudah kalo nggak mau!" aku melipat tangan, sok ngambek.

"Iya, buletttt....gue janji." Lexi menjawab sambil mencubit kedua pipiku.

Kami berdua tertawa senang.
Rasanya lega sekali berbaikan dengan Lexi.
Lebih menyenangkannya lagi, kami kali ini sudah benar - benar 'resmi' jadian.

Layar TV yang masih menyala, seakan hanya menjadi latar belakang.
Karna di depan mataku, bagai seorang malaikat bermata lembut.

Lexi... ternyata memang aku sayang padamu...

No comments:

Post a Comment

I'm looking forward to your comments and critics so I can make a better blog in the future. Thx a Lot. G.B.U.-Fei-