•●♥ About FeiwenZ ♥●•
Born at Jakarta in 1992.
A designer who loves music, games, and internet-friendly.
Great fan of Cinnamoroll cartoon character published by Sanrio.
Creative, fast learner, cheerful, hardworker, and friendly are 5 words to describe her.
Graduated in 2009 from Budi Mulia Senior High School.
Then, she took Design major in Tarumanagara University until present.
She finds experience by working freelance as a designer, photographer, and writer. She took part time jobs since High school as a Freelance Sales and Product Consultant.

Monday, July 25, 2011

19. Confession

Aku menepuk dahiku sekali lagi dan melongok ke jendela tempat kamar Lexi.
Pasti tadi saat melihat kesempatan kabur, aku langsung ngibrit sampai melupakan tasku yang masih tertinggal di bawah ranjang.
Aku mondar mandir di tempat dengan panik.
Haruskah aku kembali kedalam untuk mengambilnya?

Atau harus kutinggalkan saja dan segera pergi?
Tapi tanpa tas itu aku tidak bisa pulang.
Sebab dompet dan handphoneku ada di dalam semua.
Apalagi aku belum men-silent handphoneku.

Aku menguatkan hati dan membuka pintu pagar sekali lagi.
Miffy lagi - lagi menggonggong dan lagi - lagi kuhiraukan.
Aku berjingkat - jingkat masuk ke dalam rumahnya.
Dalam waktu singkat, aku sudah sampai di depan kamar Lexi.

Setahuku tadi Lexi masih mandi.
Bila aku mengambil tas secepat mungkin dan langsung pergi, pasti dia tidak akan menyadarinya.
Aku membuka pintu perlahan sesunyi mungkin.
Masih terdengar suara air dari pancuran di dalam kamar mandi.

Aku segera menyelinap masuk dan ngibrit ke bawah ranjang.
Benar dugaanku. Tasku masih berbaring di sana.
Aku mengulurkan tangan untuk mengambil tasnya.
Ternyata tanganku tidak cukup panjang.

Apakah aku harus masuk ke kolong ranjang lagi untuk mengambilnya?
Kucoba mengulurkan kakiku untuk menggapainya.
Tetap tidak sampai!

Akhirnya aku merebahkan diri bagai montir yang sedang membetulkan bagian bawah mobil.
Kuseret kakiku jauh ke dalam.
Dan akhirnya aku berhasil meraih tas tersebut.

Aku hendak menendang tasku keluar, saat kusadari suara pancuran air terhenti.
Dari posisiku yang masih berbaring, aku mengadahkan kepala.
Kuperhatikan pintu kamar mandi, kalau - kalau Lexi keluar dari dalamnya.

Tapi tepat di depan pandanganku adalah sepasang kaki yang masih basah.
Cowok yang melilit handuk warna biru di pinggangnya.
Aku tercengang melihat 'pemandangan' tersebut.

"Aaaa...!!!" aku menjerit sendiri.

"Huaa!" Lexi ikutan berteriak kaget hingga lompat ke belakang.

Sialnya, saat dia lompat, belitan handuk yang melingkar di pinggangnya terlepas.
Jadilah aku terpaku 2 detik sebelum berteriak lebih keras.

"Handuknya! Aaaa.....!!!!!!"

Aku menutup mata secepat mungkin dengan kedua tanganku.

"Ngapain di sini?!" Lexi langsung panik. "Jangan liat!"

"Gue juga nggak mau liat, tau! Ngapain elo keluar kamar mandi belom pake baju?!"

"Ya baju gue di lemari!" Lexi menjawab.

"Sana pake baju dulu!"

Aku merayap ke bawah ranjang dengan tangan masih menutup kedua mataku.
Jantungku serasa mau copot dari tempatnya.
Dobel gawat hari ini.
Gawat pertama : Aku tertangkap basah sedang berada di kamar Lexi tanpa ijin.
Gawat kedua : Aku melihat...yang tidak seharusnya kulihat!

Parah....hasil yang kudapat benar - benar diluar dugaan!
Apa yang harus kukatakan padanya saat melihat mukanya lagi nanti?
Tidak...lebih parah lagi apakah aku masih sanggup melihat wajahnya?
Rasanya aku ingin menggali lubang yang dalam dan masuk mengubur diri di dalamnya!

"Keluar dari sono. Gue udah pake baju." Lexi berkata padaku beberapa saat kemudian.

Aku merangkak keluar dari bawah ranjang dan tidak lupa mengambil tasku kali ini.

"Ngapain di sini?" Lexi bertanya dengan...dingin.

Aku hanya menunduk tidak berani mengangkat wajah.
Hanya melambaikan tas yang kupegang di tangan.

"Nggak ngerti. Kenapa tas elo?"

"Gue mau ngambil tas gue yang...ketinggalan." aku menjawab pelan.

Kugigit bibirku sendiri. Bodohnya aku, menjawab seperti itu!
Terungkaplah sudah bahwa aku sudah dari tadi ada di sini.

"Lho, kapan elo ninggalin tas di sini?" dia bingung. "Jangan - jangan...dari sebelom gue mandi, elo udah dibawah ranjang?"

Tidak mampu mengelak, aku hanya mengangguk lemah.
Lexi juga terdiam tanpa sepatah katapun.

"...Ngapain di sana?" dia bertanya.

Tidak ada satu patah katapun keluar dari mulutku.
Bagaimana aku harus menjawabnya?
Haruskah kubilang tadinya aku ingin berbaikan dengannya, sebelum kulihat foto Lexi bersama perempuan itu?
Ah...pasti aku akan terdengar sangat bodoh.

"Nggak...gue nggak ngapa - ngapain. Gue pulang dulu." aku menjawab secepat mungkin sambil ngeloyor pergi.

Lexi menahan tanganku dan tidak membiarkanku keluar kamarnya.

"Eva, jawab gue. Ngapain elo kesini?"

Akhirnya, aku mengangkat kepala dan menatap bola matanya.
Ya...matanya tidak berubah dari sejak terakhir kami bertemu.
Tapi ada sesuatu yang berbeda.
Bukan tatapannya yang kuatir bercampur bingung, ataupun rambutnya yang masih basah dan berantakan...yang terlihat tetap keren.

Yang hilang adalah diriku.
Nyaliku menciut menghadapinya.
Kembali lagi di benakku seakan terputar fotonya bersama perempuan itu sambil tersenyum ceria.
Dan di kepalaku menggema sebuah suara ... "Eva...you're stupid..."

Aku mencoba melepaskan tanganku dari genggamannya.
Tapi dia semakin kuat menahanku.

"Lepasin...gue..." aku meminta dengan pelan.

"Gue nggak ngerti maksud elo. Emangnya salah kalo gue mau tau apa yang elo lakuin di kamar GUE?" nada suaranya meninggi.

"Lepasin gue...please..." aku lagi - lagi meronta.

Dia melepaskan tanganku dengan kasar pada akhirnya.

"Terserah elo deh! Jangan - jangan elo emang salah kamar, ya?! Maunya ke kamar Alex, malah nyasar ke kamar gue, gitu?!"

Rasanya bagai sebuah panah menancap di jantungku saat mendengarnya bicara seperti itu.
Air mata menggenang di pelupuk mataku.
Sial! Ini bukan saatnya aku untuk cengeng!
Bukan...aku tidak sedih ataupun kecewa.
Ini air mata kekesalan!

"Kok nangis?" mendadak raut wajah Lexi berubah panik.

"...Gue nggak tau sampe kapan elo mau mikir jelek tentang gue..." kataku dengan nafas yang tertahan. "Yang pasti...gue ke sini hari ini tadinya nyari elo. Tapi sepertinya nggak guna. Gue batalin niat gue."

Ya...tidak ada gunanya akupun menjelaskan bahwa aku tidak punya perasaan apapun ke Alex.
Justru yang ada hanya membuatku terlihat bodoh.
Aku...seolah 'nembak' seorang cowok yang sudah punya pacar cantik.
Lexi...dan perempuan di fofo itu.

"Kenapa nggak guna? Maksud elo apa sih?" Lexi maju dan menatapku dalam dalam.

Aku menghindari tatapannya dan berbalik untuk keluar dari kamar.
Semakin lama aku berada di sini, kurasa suasana hanya akan bertambah buruk.
Mendadak kedua lengan Lexi memelukku dari belakang.

"Apaan nih?!" aku mencoba menghindar.

"Eva...please kasih gue kejelasan. Gue nggak ngerti mau elo tuh apa..."

"Nggak perlu lo tau." aku menjawab sambil tetap mencoba melepaskan pelukannya.

Semakin kucoba melepaskan pelukannya, dia semakin erat.
Akhirnya aku berhenti meronta dan menundukkan kepala.
Tidak kuat lagi kutahan tangis yang menyumbat tenggorokanku.
Aku menangis terisak - isak.

"Ngapain elo peluk gue? Elo punya pacar cakep, ngapain nahan gue pergi?" aku berkata sedingin mungkin.

"Pacar? Siapa?" dia bingung. "Kok jadi ngelantur sih? Siapa yang bilang gue punya pacar?"

"Nggak usah mungkir Lex." aku berbalik badan dan menatapnya.

Tidak peduli sejelek apapun wajahku sekarang,
Sembab mataku seperti apapun, kurasa ini saatnya menjelaskan sekaligus 'mengakhiri' perasaanku pada Lexi.

"Kalo emang elo mau tau, sekarang gue jelasin. Gue nggak suka sama Alex. Nggak punya perasaan apapun ke dia. Selama 3 hari ini gue terus - terusan sms dan telpon elo buat jelasin yang sebenernya."

"Handphone gue..." Lexi ingin memotong kalimatku

"Iya, gue tau. Handphone elo rusak. Dan bego nya gue, tadinya kemari untuk nyari elo dan jelasin langsung. Sebelom gue ngeliat foto elo bareng cewek lo..."

Kata - kataku terhenti di kalimat tersebut.
Rasanya tenggorokanku tercekat.
Kukumpulkan nafas untuk melanjutkan kalimatku.

"Meskipun nggak ada gunanya gue ngomong...gue cuma mau ngasih tau bahwa di pesta itu, gue cuma kebetulan ketemu Alex. Sejak awal pun, nggak ada niatan sama sekali untuk manfaatin elo biar deket sama Alex. Karna gu...*hmmp!*"

Lexi langsung maju dan menciumku tanpa basa basi.
Bibirnya menghentikan kalimatku yang terpotong.
Aku terpaku saking terkejutnya.
Aku sampai tidak sempat menutup mata.

Aku bisa mencium wangi shampo dari rambutnya yang basah.
Bulu matanya yang panjang tampak jelas.
Bibirnya agak dingin, mungkin karena air yang dingin sehabis mandi.
Tapi malah sekujur tubuhku seakan panas.

Beberapa detik kemudian, Lexi melepaskan bibirnya dan menatapku dari dekat.
Jarak wajah kami hanya sekitar 5 sentimeter.
Seisi otakku rasanya kosong. Semua kalimat yang sedang kuucapkan tadi, menghilang dari otakku.

"Gue percaya sama elo." dia berkata perlahan. "Maaf udah nuduh elo yang bukan - bukan..."

Aku hanya mengedipkan mata dan mengangguk kaku.
Barusan...Lexi menciumku?
Dan kali ini benar - benar...first kiss ku?
Kakiku rasanya lemas, tapi otakku terus memflash back apa yang baru saja terjadi.

"Kok...diem?" Kali ini ekspresinya bingung. "Jangan bilang...elo belom pernah...ciuman?"

Mataku semakin besar dan menatapnya dengan ekspresi aneh, kemudian mengangguk.
Dia berkata dengan bahasa bibir tanpa suara ... "O' ooww..."
Aku jadi salah tingkah dan mundur selangkah menjauhi pelukannya.
Dia pun mundur selangkah dan merapikan rambutnya.

Meskipun samar, bisa kulihat wajahnya memerah!
Manis sekali...
Baru kali ini aku melihat wajah seseorang bisa memerah.
Kupikir selama ini, ekspresi itu hanya terdapat di dalam komik saja.

Lexi duduk di atas ranjang dan menatapku bingung.
Akupun memutar bola mata dan tidak tahu harus berkata apa.

"Maaf...gue nggak tau itu cium....an pertama elo..." Lexi berkata dengan nada bersalah.

"Ya..." aku hanya mampu menyahut dengan suara kecil.

Kurasa aku mulai mirip orang gagu dengan suara super kecil.
Rasanya nafasku masih terhenti di tenggorokan.
Tanpa sadar, mataku melirik bibir Lexi yang berwarna merah.
Kenapa aku jadi berdebar - debar begini?

"Gue...pulang dulu ya." akhirnya aku pamitan untuk menghilangkan rasa grogiku.

"Oh,...gue anter aja mau?"

"Nggak usah. Gue sendiri aja. Bye..." aku pamitan dengan cepat.

Aku berjalan keluar kamar secepat yang kubisa.
Jika aku lebih lama berada di sini, rasanya otakku bisa meleleh saking groginya.

"Va.." Lexi memanggilku sebelum aku menutup pintu.

Aku melongokkan kepala ke dalam dan menatapnya.

"Ya?"

"...Entah elo denger gosip dari mana, tapi yang pasti....gue nggak punya pacar kok."

Senyuman mengembang di wajahku.
Kenapa aku tersenyum lebar begini mendengar pernyataannya yang tidak punya pacar?
Entahlah...aku hanya bisa mengangguk dan menutup pintu tanda pamitan kepadanya.
Kemudian aku berjalan keluar dari rumahnya menuju halte bis.

Pemandangan sepanjang jalan yang dihiasi pohon, terlihat lebih hijau dari sebelumnya.
Angin sejuk yang meniup rambutku, rasanya sangat sejuk.
Di kaca jendela bis, aku bisa melihat wajahku sendiri dengan senyum kecil mengembang di wajahku.
Aku sudah mengibarkan bendera putih.

Kuakui.... Lexi berhasil menjajah hatiku, tepat di detik dia menciumku.
Dan aku t'lah jatuh cinta...

No comments:

Post a Comment

I'm looking forward to your comments and critics so I can make a better blog in the future. Thx a Lot. G.B.U.-Fei-