•●♥ About FeiwenZ ♥●•
Born at Jakarta in 1992.
A designer who loves music, games, and internet-friendly.
Great fan of Cinnamoroll cartoon character published by Sanrio.
Creative, fast learner, cheerful, hardworker, and friendly are 5 words to describe her.
Graduated in 2009 from Budi Mulia Senior High School.
Then, she took Design major in Tarumanagara University until present.
She finds experience by working freelance as a designer, photographer, and writer. She took part time jobs since High school as a Freelance Sales and Product Consultant.

Monday, July 25, 2011

18. Hide and Seek

Dengan tegap dan mantap, aku mengetuk pagar tinggi di hadapanku.
Hari ini, aku akan menemui Lexi.
Yah, setidaknya kuharap begitu.
Dengan menarik nafas panjang, kuketuk kembali pagar tersebut.

"Ya!" terdengar sahutan nge-bass dari dalam.

Pintu pagar terbuka lebar.
Aku baru akan melangkah masuk saat Miffy menggonggong.

"Eva?"

Jantungku serasa terhenti melihat sosoknya.
Apa yang harus kukatakan?
Padahal, semalam begitu banyak hal yang ingin kukatakan.
Bahkan sudah kusiapkan berbagai jawaban untuk pertanyaan darinya...seandainya dia bertanya.

Tapi, selama 5 detik aku memandang, baru kusadari.
Yang berdiri di hadapanku bukan Lexi.
Sebab, aku mengenali dari senyum lebarnya yang kekanakan.
Dia Alex.

"Uhmm...Lexi ada?"

Aku menenangkan debaran jantungku.
Pasti hanya karena wajah mereka sama, makanya aku sempat shock.

"Wah, dia lagi pergi tuh. Masuk aja dulu yuk? Enggak lama kok dia perginya."

Aku mengangguk dan masuk ke dalam rumah.
Miffy tetap duduk di depan pintu pagar rumah, sementara aku duduk di ruang tamu.
Miffy memang terlatih untuk tidak menginjakkan kaki ke dalam rumah.
Kurasa dia disekolahkan di sekolah khusus anjing.

"Nyari Lexi...soal 3 hari lalu ya?" Alex langsung 'nembak' dengan pertanyaan seperti itu.

Aku mengangguk dan mencoba tersenyum menanggapi Alex.

"Gue sms nggak digubris. Gue telpon juga nggak bisa nyambung..."

"Oh...itu. Ehmm... pas pulang dari pesta itu, hpnya dia banting. Emang kebiasaan jelek tu anak, kalo kesel pasti ngerusak barang - barang. Sampe sekarang rusak. Hahaha..." Alex tertawa garing.

Aku melongo mendengar cerita Alex barusan.
Dibanting? Pantas saja tidak ada satupun sms maupun telponku yang digubris olehnya.
Tapi...belum tentu juga dia tidak marah padaku, kan?

"Gue mau tanya, Lexi masih marah ga sih, sama gue?" aku bertanya penasaran kepada Alex.

"Waduh, gak tau juga ya. Kita nggak ngomongin soal itu lagi sih soalnya."

Aku menghela nafas kecewa.
Kalau begini, hatiku tetap saja tidak tenang sama sekali.
Meskipun belum tentu Lexi marah, tapi presentasenya lebih besar kemungkinan dia marah padaku.

"Va...gue mesti cabut ke tempat lain nih. Elo nunggu di kamar Lexi aja ya?" tiba - tiba Alex berkata padaku.

"Hah? Gue mending disini aja." kataku menolak tawarannya.

"Soalnya, dari ruang tamu sini kan nggak bisa ngeliat tangga. Nanti dia pulang ngga ketauan." Alex menjelaskan. "Nggak apa kok, santai aja. Semua temen kita kalo dateng juga pasti maennya di kamar."

Aku bingung apa yang harus kulakukan.
Kalau pergi ke rumah Frey sih, memang aku selalu main di kamarnya.
Tapi masalahnya, ini kan kamar cowok?
Lagipula, aku belum terlalu dekat dengan Lexi.

Tanpa sempat berpikir, Alex sudah menarikku naik ke kamar Lexi.
Sesampai di kamar, dia menutup pintu dan pamit, meninggalkanku sendiri di kamar besar ini.

"Sekalian tolong jagain rumah dulu ya. Hehehe... Tante Ellen lagi keluar kota soalnya... Maap ngerepotin yah Va..." begitu kata Alex sebelum menutup pintu.

Aku duduk di jendela yang dibuat mengarah keluar dengan bantalan di alasnya.
Interior kamar ini cukup unik. Kurasa jika nanti aku sudah memiliki rumah, akan kubuat yang seperti ini.
Aku mengamati rak buku yang terdapat di samping komputernya.
Beberapa buku komik juga ada di sana.

"Udah kuliah masi baca komik... kayak anak kecil. Hehehe..." aku bergumam sambil tertawa.

Di mejanya terdapat beberapa buku tebal yang tertumpuk.
Aku penasaran dengan isinya.
Kuhampiri buku tebal yang bersampul kulit itu dan kulirik sampulnya.
Dari penampilannya sih, buku ini adalah album foto.

"Wah... jangan - jangan album waktu kecilnya?"

Dengan excited, kubuka lembar pertama albumnya.
Ada foto Lexi dan Alex di sebuah pantai. Mereka tertawa ceria.
Dari wajahnya, sepertinya mereka masih SMP.
Aku tertawa melihat beberapa foto Lexi dengan rambut yang masih culun.

Di bagian tengah album, adalah foto saat lulus - lulusan SMAnya.
Lexi memakai seragam SMA dan memegang sebuah bola basket.
Sepertinya dia ikut ekskul basket juga di SMU.
Kulitnya agak kecoklatan di sini.

Mungkin di SMAnya tidak terdapat lapangan basket indoor seperti sekarang.
Sehingga dia harus bermain dibawah terik matahari.
Tapi...senyumnya tidak berubah.
Aku tertawa sendiri melihat foto - fotonya.

Saat kubalik halaman berikutnya, tatapanku terpaku pada sebuah foto.
Aku terdiam beberapa detik melihatnya.
Di kerumunan wisuda itu, Lexi berfoto dengan seorang perempuan
Lexi sedang merangkulnya dari samping.

Di foto lain, Lexi memeluk perempuan itu dari belakang.
Sepintas, aku seperti mengenal perempuan itu.
Rasanya, tidak asing senyum perempuan itu yang memperlihatkan sepasang lesung pipi.
Rambut ikal, panjang dan kecoklatan...seperti artis asia.

Oh iya! Ini perempuan yang kemarin kulihat di gerbang memeluk Lexi!
Tidak mungkin salah. Sebab dari samping kulihat lesung pipinya saat tersenyum.
Dia...perempuan di foto ini.
Perempuan yang sedang foto dengan bahagia bersama Lexi saat kelulusan.

Aku menutup album tersebut dan mundur agak jauh.
Pikiranku seakan kosong.
Aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan di sini.
Jika begitu, berarti memang perempuan itu adalah pacar Lexi sejak SMA.

Dan...itu menjelaskan mengapa perempuan itu kemarin terlihat sangat akrab dengan Lexi di kampus.
Sebab...mereka sudah pacaran sejak lama.
Mataku terasa panas. Entah apa yang terjadi, tapi diantara rusukku rasanya sesak.
Bibirku bergetar dan seakan sulit mengucapkan sepatah katapun.

Air mata menggenang di pelupuk mataku.
Aku baru menyadari betapa bodohnya aku sedang berdiri di sini.
Apa yang kuharapkan dengan menghampiri Lexi seperti ini?
Berharap bahwa kedekatan kami seminggu kemarin bukan sekedar sandiwara?

Aku langsung kalut saat itu juga.
Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan di sini.
Apalagi jika bertemu Lexi nanti.
Aku hanya akan menambah kebodohanku di depannya.

Aku baru ingin melangkahkan kaki keluar kamar saat terdengar suara langkah kaki mendekat.
Seketika aku panik.
Pasti itu Lexi yang pulang dan ingin masuk kamar.
Apa yang harus kukatakan bila dia melihatku menangis di kamarnya seperti ini?

Tanpa pikir panjang, aku menyeret tubuhku ke bawah ranjangnya.
Beruntung bedcover ranjangnya hampir menutupi lantai.
Aku segera menyibak bedcovernya dan telungkup di bawah ranjangnya yang besar.
Dari tempatku, bisa kulihat pintu kamarnya terbuka dan sepasang kaki masuk ke dalam.

Tidak salah lagi, pasti itu kaki Lexi.
Dia meletakkan tasnya di lantai, sebelah ranjang.
Rasanya seperti berada di film sinetron; bersembunyi di bawah ranjang.
Aku telungkup dan meletakkan kepalaku di atas lipatan lengan.

Kuperhatikan langkah kaki Lexi yang menuju lemari baju dan membukanya.
Tidak lama kemudian, celana jeans yang dipakainya, dibuka ke lantai.
Sayang sekali jarak pandangku hanya sebatas pergelangan kaki.
Hey...? Berarti dia hanya menggunakan celana...dalam?

Kuhapus pikiran ku yang 'tidak benar' yang mendadak nemplok di otakku.
Apa yang kupikirkan di saat begini?
Sesaat kemudian Lexi memakai celana training untuk di rumah.
Dia memasukkan celana jeansnya kedalam keranjang.

"Kok albumnya di sini?" Lexi bergumam sendirian.

Gawat...setelah melihat - lihat tadi, aku lupa mengembalikan albumnya ke posisi semula.
Tapi sepertinya Lexi tidak terlalu pusing soal itu karena tidak lama kemudian dia naik ke atas ranjang.
Suara kayu ranjang sedikit berderak.
Di kepalaku terlintas adegan horor bahwa ranjangnya mendadak rubuh dan aku tertimpa di bawahnya.
Duh, lagi - lagi pikiranku ngelantur!
Kurasa aku mulai stres atau bahkan tidak waras.

Terdengar suara gitar dari atas ranjang.
Sepertinya Lexi sedang bermain gitar.
Permainannya lumayan jago. Awalnya dia memainkan melodi saja.
Namun sesaat kemudian dia bernyanyi.

"...The silence isn't so bad, til i look at my hands and feel sad. Coz the spaces between my fingers are right where yours fit perfectly..." dia menyanyikan sebait lirik lagu.

Aku tahu lagu ini. Vanilla Twilight-nya Owl City.
Lirik yang manis dan romantis.
Aku punya lagunya di mp4 playerku.
Tapi...untuk siapakah dia menyanyikan sebait lirik itu?
Argh...aku terlalu banyak berpikir.
Yang terpenting sekarang aku harus fokus bagaimana bisa keluar dari sini.

Sepertinya keberuntungan berpihak padaku.
Lexi langsung terdiam dan meletakkan gitarnya kemudian berjalan masuk ke pintu kamar mandi yang ada di samping pintu masuk.
Dia menutup pintunya dan menguncinya dari dalam.
Aku tidak membuang kesempatan ini dan langsung merangkak keluar dari bawah ranjangnya.

Aku berjalan sepelan mungkin dan tidak menimbulkan suara apapun.
Aku membuka pintu kamarnya dan keluar dengan sukses.
Dengan segera, aku berlari menuju pintu keluar dan memakai sepatu.
Tiba - tiba, Miffy menyalak dengan keras di dalam kandangnya.
Aku terkejut dan sedikit memekik.

"Miffy! Diam...! Ssstt.!" aku memerintakan Miffy.

Bukannya diam, Miffy melanjutkan gongongannya.
Aku tidak mempedulikan Miffy yang berisik dan langsung berjalan ke pintu pagar.
Kubuka dengan suara sepelan mungkin, kemudian berjalan keluar.
Setelah menutup pintu tersebut, aku melompat setinggi mungkin.

"Hebat! Gue emang berbakat jadi agen rahasia!" aku memuji diri sendiri sambil tertawa.

Seumur hidup, mungkin hanya sekali ini akan kualami kejadian menegangkan seperti tadi.
Tidak akan ada kedua kalinya aku menyelinap masuk ke kamar orang lain tanpa ijin.
Apalagi orang itu adalah....Lexi.

Kuputuskan untuk pulang naik bis, saat kuraba bahuku.
Aku menepuk dahi sekeras mungkin dan baru menyadari hal bodoh yang kulakukan.

"Tas gue... ketinggalan di dalem..."

No comments:

Post a Comment

I'm looking forward to your comments and critics so I can make a better blog in the future. Thx a Lot. G.B.U.-Fei-