•●♥ About FeiwenZ ♥●•
Born at Jakarta in 1992.
A designer who loves music, games, and internet-friendly.
Great fan of Cinnamoroll cartoon character published by Sanrio.
Creative, fast learner, cheerful, hardworker, and friendly are 5 words to describe her.
Graduated in 2009 from Budi Mulia Senior High School.
Then, she took Design major in Tarumanagara University until present.
She finds experience by working freelance as a designer, photographer, and writer. She took part time jobs since High school as a Freelance Sales and Product Consultant.

Monday, July 25, 2011

2. The One I've Been Looking For

Aku terbangun pukul 5 pagi. 
Kemudian bergegas mandi dan berangkat ke kampus. 
Aku berangkat lebih awal karena memang setiap hari Senin aku mendapat tugas merawat kebun di belakang kampus. 
Aku ikut di unit pecinta alam dimana isinya orang – orang yang hobi mengenakan t-shirt ‘Go Green!’. 
Kadang gaya rambutnya dibuat mirip pohon beringin di gambar Burung Garuda Pancasila.
Bagiku, cinta alam cukup dengan mencintai tanaman, ya kan? 

Mungkin terlihat aneh bahwa aku justru memilih unit pecinta alam di kampus yang unggul dalam olahraganya ini. 
Tapi aku mengikutinya atas bujukan teman baikku, yang tidak lain adalah Frey. 
Karena jumlah anggota pecinta alam sedikit, jadi setiap orang mendapat tugas per hari.
Kebetulan aku mendapat tugas pada hari Senin.

Aku tiba di gerbang kampus pada pukul 06.45. 
Jarak dari kampus ke rumah memang lumayan jauh, memakan waktu 45 menit. 
Udara masih dingin dan langit belum sepenuhnya terang. 

Sesampai di depan ruangan unit, kurogoh kantong dan membuka pintu ruangan yang tadinya terkunci. 
Karena di jadwal aku yang bertugas hari Senin, aku dipercaya untuk membawa duplikat kunci ruang unit setiap hari Sabtu sore. 

Kuletakkan tas punggung dan meraih ember besar berisi sekop, penyiram, dan ember kecil dari lemari penyimpanan peralatan. 
Aku mengenakan sarung tangan berkebun, yang sepertinya terbuat dari kulit (?).

Jarak ruang unit ke kebun belakang tidak terlalu jauh.
Sesampai di sana, aku mulai menyiram tanaman satu per satu sambil menggemburkan tanahnya. 
Setelah selesai menyiram dan memupuki tanaman, aku mengambil sekop, garpu, dan ember kotor yang tadi telah kupakai. 
Aku berjalan ke bak di pinggir sana dan mulai mencuci peralatan–peralatan itu. 

Suasana pagi ini sangat indah. 
Dihiasi burung–burung yang berkicau dan udara yang sejuk. 
Aku mulai bernyanyi salah satu lagu kesukaanku dengan nada yang tidak karuan. 
Maklum, meskipun suka music tapi bakat menyanyiku nyaris nol.
Namun, terdengar suara dedaunan yang bergesekan di belakangku. Dengan sigap, kubalikkan badan.

“Siapa di situ?”, tanyaku.

Tidak ada jawaban. 
Mungkin suara tadi hanya dedaunan kering yang tertiup angin. 
Aku kembali mencuci saat kali ini suara dedaunan yang tergeser tersebut diikuti oleh suara kaki yang diseret–seret.

“Eh, serius dong! Siapa sih?!”, tanyaku lantang.

Bulu kudukku merinding. 
Aku memang sering mendengar desas desus hantu wanita yang mencari anaknya atau pria misterius di gudang bekas. 
Kebun belakang yang letaknya agak terpencil ini konon katanya tempat pembantaian massal waktu jaman Belanda. 
Bukannya pengecut, tapi kalau melihat hantu tiba – tiba di tempat sepi begini, nggak ada yang bisa menolongku!

Dengan terbirit – birit, aku meraih semua peralatan berkebun itu dan memasukkan secara paksa ke dalam ember. 
Ember besar itu kupeluk sambil berlari kembali ke ruang unit. 
Aku tidak peduli pada kaus yang agak kotor kena tanah yang menempel dari ember. 
Sialnya, dari belakangku ada suara langkah kaki. 
Tiba – tiba sekop kecilnya terjatuh.

“Duh, kenapa pake jatoh segala sih?!” aku menggerutu.

Kuhentikan langkahku kemudian kuletakkan ember besar itu di tanah. 
Saat membalikkan badan, ada seseorang yang sedang berdiri di belakangku. 
Jantungku serasa mau loncat dari tempatnya. 

Tidak ada jeritan yang keluar dari mulutku, hanya rasa dingin seakan memaku kakiku ke tanah.
Kuamati orang itu, mulai dari kaki. 
Kabarnya hantu tidak menapakkan kakinya ke tanah.

Tapi justru sebaliknya, yang kudapati adalah sosok cowok berpostur tinggi, dengan kulit putih dan rambut hitam belah tengah sedang menatapku dengan khawatir. 
Cowok itu manis. 
Biarpun kurang jelas karena kami terpisah jarak yang lumayan jauh.

“Hantu ya?!” kuhadrik dia dengan cepat.

“Sori. Gue ngagetin elo ya?” tanyanya cemas. Dia berjalan mendekat.

“Oh, bukan hantu toh. Jadi dari tadi yang ngikutin jalan…”

“Iya. Itu gue. Tadinya sih, gue mau manggil, tapi elo keburu terbirit – birit lari gitu.”

Aku jadi salah tingkah. 
Malu – maluin banget malah nyangka dikejar hantu penunggu gudang sejak jaman Belanda…

“Tenang aja, kalo ada hantu juga nggak bakal mempan lari – larian begitu.” Katanya meledekku.

Aku cemberut. Masa’ pertemuan pertama sudah diledek? Huhh…! Bikin tambah salting aja!

“Just kidding koq. Namanya siapa?” dia bertanya.

“Eva. Err… Shelva sih sebenernya. Tapi kebanyakan orang susah bacanya.”

“Kenalin, Alex.” Dia mengulurkan tangannya sambil maju beberapa langkah. 

Aku menjabatnya dengan ceria. 
Dia juga tersenyum, memperlihatkan sederetan giginya yang berwarna putih, tersusun rapi menghiasi senyumnya dengan bibir merah dan lesung pipi yang membuat gemas.

“Eh iya, ngapain di sini pagi – pagi begini?” tanyaku.

“Tadi lagi latihan sepakbola pagi - pagi, buat pemanasan ajah.” Jawabnya mantap.

“Elo anak unit sepakbola?” tanyaku antusias.

“Iya. Emang kenapa?”

“Wah, keren! Gue juga suka sepakbola! Tadinya sih, pingin ikut itu.”

“Nah, terus kenapa ikut ekskul bunga – bungaan?” dia menunjuk peralatan yang terjatuh di tanah tadi.

“Ooh,…ini sekedar hobi aja. Sekalian nemenin temen.” Jawabku singkat. “Lagian, gue ikutnya pecinta alam, bukan bunga-bungaan.”

“Mau dibantuin bawa peralatan nya?” dia menawarkan bantuan. Aku hanya mengangguk dan memungut ember besar itu dari tanah.

Kami akhirnya mengobrol. 
Dia bertanya berbagai hal tentangku, dan aku juga bertanya tentang dia. 
Tanpa terasa, jam sudah menunjukkan pukul 7.30. 
Kampus mulai ramai. 
Aku mengucapkan selamat tinggal padanya dan berjalan ke toilet untuk membersihkan pakaian. 
Setelah noda tanah menghilang, aku menunggu Frey di pintu gerbang. 

Frey, adalah sahabatku yang paling baik. 
Dia orangnya sangat manis. 
Rambutnya panjang, orangnya feminim, pandai memasak, pokoknya benar – benar tipe gadis idaman! 
Sejak SMP Banyak sekali kakak kelas yang menyatakan cinta padanya. 
Aku hanya bisa bangga berteman dengan cewek manis yang populer.

Beberapa menit kemudian, Frey datang dengan tas berwarna hijau kesukaannya. 
Seperti biasa, rambutnya digerai. 
Saat dia mendekat, samar – samar tercium wangi parfum green tea. 
Aku segera menghampirinya.

“Aduh, pagi ini Frey manis banget!” kataku sambil menatapnya.

“Ya ampun, tiap hari juga kayak gini – gini aja, Va. Gimana tadi ngurus kebunnya?” tanya Frey.

“Eh, tadi gue ketemu cowok yang ngaku namanya Alexander pas nyuci peralatan.” kataku pada Frey. “Mungkin anak angkatan atas?”

“Alexander ? Alexander…yang Cuma ada satu – satunya di kampus kita?” katanya super terkejut.

“Nggak tahu, belom sempet Tanya nama lengkapnya. Kenapa emang? Ada sesuatu yang salah sama dia?”

“Duh, dia itu anaknya rektor kampus. Cowok super keren, tajir, cool, pokoknya perfect deh! Eh, tapi kok bisa sampe ketemu sama dia? Ceritain dong.”

Akhirnya aku bercerita mengenai kronologis ceritanya mulai dari A sampai Z. 
Frey hanya terkesima sambil sesekali membungkam mulutnya untuk tidak menjerit. 
Mungkin dia sedang menghayal bagaimana seandainya ia yang mengalami momen – momen sepertiku.

“Waw! Keren banget, Va!” Frey merespon selesai aku bercerita.

“Biasa aja kali. Orangnya baik sih, tapi nggak segitunya… Itu murni kebetulan kok.”
“Nah, justru karna kebetulan. You have such a great luck. Nggak coba ikutan lotre?”

“Itu mah sama aja judi!” kataku.

Mata kuliah untuk hari ini hanya Bahasa. 
Mata kuliah umum yang paling tidak kusukai. 
Untungnya ada Frey, aku selalu bisa terjaga sepanjang pelajaran. 

Entah mengapa, dosen berambut mekar ini selalu tahu pertanyaan mematikan yang ditujukan kepada setiap muridnya. 
Dan yang paling menyebalkan, dia selalu menegur orang dengan ekspresi datar saat tidak berhasil menjawab pertanyaan darinya.

Untungnya kelas bubar setengah jam lebih awal hari ini. 
Aku berjalan berdua dengan Frey. 
Biasanya seusai kelas, kami menyempatkan diri untuk ke toko buku yang terletak di dekat kampus. 
Maklum, Frey maniak buku. 
Namun hari ini dia harus merawat adiknya yang sedang sakit. 
Jadi tujuan kami masing – masing lansung menuju ke rumah.

“Eva, tadi nanya gak Alex jurusan apa?”

“Dia bilang, Psikologi. Semester 4. Kenapa?”

“Wah, nggak sangka. Kirain anak rektor bakal ambil kedokteran atau semacamnya.”

“Emangnya kedokteran itu identik sama orang pinter? Kita di jurusan Desain juga pinter kok!”

Faktanya, kebanyakan orang yang tahu kami masuk jurusan desain memang terkejut.
Habisnya, kami berdua yang tadinya lulusan IPA di SMU ini malah banting setir ke bidang seni.
Saat berjalan ke pintu keluar, kami melewati kantin. 
Tiba – tiba Frey menepuk lenganku.

“Va, itu Alex lagi nongkrong. Sapa gih.”

Kulihat di meja kantin, memang dia sedang ngobrol dengan teman – temannya sambil tertawa riang.

“Hah? Ngapain? Dia kan lagi bareng temennya. Nggak enak lah gue.” Aku menolak.

Dari kejauhan, Alex yang sedang asik ngobrol dengan teman – temannya tiba – tiba terhenti dan menatapku.

“Tuh kan Va. Dia ngeliat. Ntar disangka sombong lho, kalo kenal tapi sok cuek. Dia kan cocok banget sama kriteria cowok perfect yang selama ini lo cari. Lagian, siapa tau ini saatnya mengakhiri masa jomblo yang selama ini dipegang teguh beriman…”

“Oke, oke! Gue kesana.” Kupotong kalimat Frey yang panjang dan tidak ada habisnya itu.

Frey memang sering antusias sendiri jika ada kesempatan menjodohkanku dengan cowok. 
Pasalnya, sejak dia tahu bahwa aku sama sekali tidak berminat jadian sementara dia punya banyak ‘penggemar’, dia jadi gregetan sendiri dan tidak sabar ingin melihat sahabatnya ini punya gandengan.

Aku berjalan menghampirinya dan kusapa dengan ceria.

“Hai!” kataku nyengir lebaaar sekali. “Lagi makan?”

Alex tampak agak bingung bercampur kaget. 
Dia lalu mendekatiku dan menatapku....
“Siapa ya?” Nadanya datar, tanpa ekspresi.

Aku kaget bercampur kesal. 
Nadanya yang dingin sangat tidak bersahabat. 
Belum lagi, ia pura – pura tidak kenal padaku. 
Tapi, mungkin saja dia lupa. Kucoba untuk tetap positive thinking.

“Ini Eva. Masa’ baru tadi pagi ketemu udah lupa?”

Dia bangkit berdiri kemudian tertawa.

“Ah,... seperti biasa. Elo pura – pura kenal sama gue, biar bisa pedekate kan? Udah deh, terus terang aja. Udah banyak kok yang gitu.”

“Amit – amit banget sih!” bentakku segera.

Darahku mendidih. 
Kupelototi dia dalam – dalam hingga kuharap menusuk ke dalam tulangnya. 
Dia ternyata super jaim kalau berada diantara orang banyak! 

Aku langsung berbalik dan pergi dengan kesal. 
Aku menahan diriku untuk tidak menonjoknya tepat di wajah. 
Frey hanya melongo melihat apa yang baru saja terjadi.

“Nah, akhirnya sadar sendiri kan? Makanya, ngaca dulu kalo mau ngajak kenalan! Udah tampang pas – pasan, kurang malah!” katanya jauh dari belakang. 

Disusul oleh gelak tawa dari teman – temannya, aku langsung berbalik lagi ke arahnya dan menatapnya dengan marah. 
Padahal aku tidak ingin mencari masalah, tapi dia yang memulainya duluan!

“Eh, denger ya! Gak usah mentang – mentang Lo cakep, terus bisa tebar pesona sesuka hati! Lagian, Cuma cewek bego yang mau kenalan sama cowok narsis tapi sifatnya jelek setengah mati! Dasar ke-ge-er-an!” bentakku dengan suara sekeras – kerasnya sambil berjalan mendekati dia.

“Berarti, Elo termasuk cewek bego juga dong? Tadi kan mau kenalan sama gue.” Katanya sambil lanjut tertawa. Lebih tepatnya, menertawakan aku.

“Itu,...” kata - kataku terpotong. Langkahku pun terhenti.

“Ada apa, Lex? Kok berantem?” Ada suara yang familiar dari belakangku. 

Saat kubalikkan badan, Aku kaget sekali begitu melihat cowok dengan wajah, postur tubuh, dan gaya rambut persis sama dengan Alex yang baru saja bertengkar denganku dan sedang duduk di kantin.

“Alex?” tanyaku pada cowok yang baru muncul itu.

“Eh, Eva? Tadi kalian yang teriak – teriak?”

“Kok ada dua…”

“Oh, itu Lexi. Kembaran gue. Ini baru Alex yang asli.” Katanya sambil menunjuk dirinya sendiri.

“Oh, jadi yang kenalan sama dia tadi pagi tuh Alex? Dasar! Kok bisa – bisanya kenal cewek barbar kayak gini.” Lexi tiba- tiba sudah ada di sebelah Alex.

Aku ingin meninjunya, tapi dia keburu jalan dan mengambil tasnya di meja kantin.

“Al, balik dulu yah! Nanti pulang cepetan. Temenin maen game” kata Lexi sambil melambai kepada Alex lalu pergi.

Aku menatap punggung Lexi yang pergi menjauh sambil menenteng helm. 
Ia berjalan ke tempat parkiran motor dan sosoknya menghilang.

“Kalian asli kembar? Kok sifatnya jelek banget sih?!” tanyaku sebal kepada Alex. Alex tertawa.

“Iya, dia emang suka gitu. Abisnya, banyak banget sih cewek yang ngefans sama dia dan minta kenalan.” Alex menjelaskan. “Makanya sengaja digalakin biar cewek – cewek itu langsung nyerah sebelom memulai.”

“Hah? Emang ada yah, yang mau kenal sama cowok narsis dan ge-er-an kayak dia?”

“Yah, tapi kalo dah kenal sama dia, dia orangnya bae kok!”

“Whatever. Gue pulang sekarang deh. Frey juga mesti buru – buru.” Kataku sambil tersenyum padanya. 

“Pulangnya naik apa?”

“Yah biasa lah. Naik bis. Emangnya mau naik apa lagi?” tanyaku.

“Jangan, bis enggak aman. Gue anter naik motor yuk!”

“Duh, jangan deh. Entar ngerepotin.” Kutolak dengan cepat.

“Mana mungkin Cuma nganter gitu ngerepotin. Ayo lah, sekali aja deh. Anggep aja wakilin Lexi minta maaf dia udah jahat tadi sama lo. Tenang aja, enggak bakal dibawa kabur kok.”

“Tapi…” 

“Ah, nggak apa kok! Dia emang sering kejebak macet kalo naik bis. Untung banget Alex baik mau anterin. Titip Eva ya! Dah, gue pulang dulu yah Va!” kata Frey sambil dengan cepat melambai pergi.

Hanya tinggal aku dan Alex yang saling terdiam dan saling menatap. 
Dasar Frey! Begitu ada kesempatan, langsung kambuh penyakit lamanya. 
Pasti sesampainya di rumah, dia langsung menyusun 1001 rencana mendekatkanku dengan Alex.

“Ayo ke parkiran. Frey udah nitipin elo buat sampe rumah dengan selamat. Lo nggak mau bikin dia kuatir, kan?”

Akhirnya, mau tidak mau aku mengikuti Alex ke parkiran motor. 
Letaknya di bagian bawah kampus. 
Tepatnya di basement. 
Alex berhenti di depan Motor kuning. 
Setelah menstarter mesin motornya, dia menoleh padaku.

“Ayo naik.”

Kuinjak pijakan belakang motor itu kemudian naik. Alex menyodorkan helmnya kepadaku.

“Lho, kok buat gue?” Aku bertanya dengan bingung.

“Biar aman, elo aja yang pake. Elo kan cewek. Kalo kenapa – napa, mukanya nggak boleh sampe lecet.”

Untuk sesaat, aku terkesima dengan kalimatnya. 
Ternyata dia cukup gentleman juga, mementingkan keselamatan penumpangnya yang kebetulan adalah aku.

“Rumah Elo dimana?” tanya Alex

“Padang Putih 11. Rumah coklat di sebelah tikungan jembatan.” Jawabku.

Setelah naik ke boncengan, dia menjalankan motornya dan kami keluar dari area kampus, menuju ke jalan raya. 
Dia naik motor dengan cepat sekali.

“Jangan cepet – cepet dong.” Kataku dengan ngeri.

“Kalo enggak mau jatuh, pegangan dong.” Katanya sambil nyengir.

Dia malah menambah kecepatannya. Aku terpaksa memegang erat bagian belakang motor, takut terpelanting setiap kali ada tikungan.

Motor berhenti di perempatan rumahku, lalu aku cepat – cepat turun dari motor.

“Tadi itu ngeri banget! Untung kita gak kena tilang! Mana Elo gak pake helm, pula!”

“Palingan kalo ditilang, elo ditinggal buat jadi jaminan.”

Alex tertawa kemudian kembali memakai helmnya dan melambaikan tangannya padaku. 
Aku membalas lambaiannya lalu ia pun pergi. 
Aku masuk ke dalam rumah yang kosong dan gelap itu. 
Udaranya terasa agak pengap hari ini. 
Sepertinya mbak Ti sedang menggosok pakaian di lantai atas. 

Aku berjalan ke dalam kamar lalu meletakkan tas di sebelah lemari pakaian. 
Kunyalakan mp4 player yang kusambungkan pada speaker dock. 
Lagu yang kusukai mengalun perlahan. 

Suasana santai ini seakan membuatku flash back kepada kejadian hari ini. 
Alex orangnya baik, dan ramah. 
Yang paling kusukai darinya, dia orangnya ceria. 
Bertolak belakang sekali dengan kembarannya!

Kuraih handphone dari saku, ada sms dari Frey. Singkat, padat, namun sangat jelas maknanya.

“Go get him, girl!”

Aku menghela nafas panjang. 
Memang sih, sejauh ini Alex memenuhi beberapa kriteria dasar cowok yang selama ini aku idamkan, tapi tidak bisakah kami sekedar jadi teman? 
Aku belum pingin pacaran...

No comments:

Post a Comment

I'm looking forward to your comments and critics so I can make a better blog in the future. Thx a Lot. G.B.U.-Fei-