•●♥ About FeiwenZ ♥●•
Born at Jakarta in 1992.
A designer who loves music, games, and internet-friendly.
Great fan of Cinnamoroll cartoon character published by Sanrio.
Creative, fast learner, cheerful, hardworker, and friendly are 5 words to describe her.
Graduated in 2009 from Budi Mulia Senior High School.
Then, she took Design major in Tarumanagara University until present.
She finds experience by working freelance as a designer, photographer, and writer. She took part time jobs since High school as a Freelance Sales and Product Consultant.

Monday, July 25, 2011

28. Just Like That

Aku duduk di kelas dengan lemas.
Harusnya hari ini adalah mata kuliah yang menyenangkan bagiku.
Tapi rasanya aku enggan melihat dosen ini.
Pikiran tentang kepindahan masih mengganjalku.

Seusai kelas, aku dan Frey duduk di taman.
Tadi pagi sudah kuceritakan secara rinci tentang segala hal yang terjadi kemarin.

"Eva...kasian elo ya. Umur segini udah banyak banget pikirannya." Frey mengusap - usap punggungku.

"Gue juga bingung Frey. Gak tau harus mikirin yang mana dulu. Masalah Lyn, atau bokap."

"Gini, gue punya ide. Gimana kalo elo tanya ke Lexi tentang keputusan ini? Seandainya dia nggak pingin lo pindah, kan masih ada waktu seminggu buat yakinin bokap lo. Setidaknya biarin bokap lo ke Singapur sendiri dan elo tinggal di sini. Simple kan?"

"Masalahnya...tinggal serumah aja dah jarang ketemu. Apalagi beda negara. Cuma bokap satu - satunya keluarga gue yang tersisa..." aku menjawab dengan lemas.

Frey mengangguk - angguk membenarkan kalimatku.
Terlihat dari wajahnya, diapun sebenarnya tidak tahu harus berkomentar apa.
Kurasa aku telah membebani dia dengan masalah - masalahku.
Untunglah Frey sama sekali tidak mengeluh punya teman yang 'penuh masalah' sepertiku.

"Tapi, gue bakal tetep ngomong ke Lexi kok." kataku.

"Ya itu harus lah. Dia kan cowok lo. Asal, waktu elo ngomong si Lyn nggak ikutan. Tu cewe selalu bikin perkara deh! Lama - lama gue keki!" Frey ngomel - ngomel sendiri.

"Tapi, kemarin itu gue juga ngeliat sendiri, dia gak sengaja nyebur ke danau. Nggak sperti di sinetron, pura - pura tenggelem..."

"Bukan soal jatohnya. Tapi sejak awal ngapain dia ngajak elo kalo pingin reunian bertiga doang? Elo juga sih' masa nggak antisipasi bakal ada kejadian gini kalo lo ikut?"

"Emangnya gue tau Lyn bakal ikut? Gue aja baru tau pas disana!" aku membantah.

Wah, lama - lama suasana jadi panas.
Frey sepertinya mulai kalap dan meledak - ledak memprotes Lyn habis - habisan.
Aku pun sebenarnya mulai merasa bahwa menyetujui perjanjian dengannya adalah hal yang salah.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur.
Mana bisa kutarik kembali kata - kataku?

Saat aku menoleh, Alex sedang lewat bersama teman - temannya.
Aku teringat masih belum berterima kasih soal kemarin dia menghiburku.
Dia sudah melihatku dalam keadaan yang memalukan, nangis cengeng di tempat umum.

"Frey, gue nyamperin Alex dulu ya? Ada yang mesti gue omongin." kataku.

"Oh, yauda. Gue sekalian mau pulang. Bye Eva..."

Aku bergegas menghampiri Alex dan menepuk bahunya dari belakang.
Alex menoleh dan tersenyum melihatku.

"Eh, Eva. Ada kuliah juga hari ini?" Alex bertanya

"Iya. Tapi udah selesai. Elo ?"

"Kebetulan gue nggak ada kuliah. Hari ini cuma dateng ngumpul tugas. Udah makan siang?"

"Belom." aku menjawab. "Mau makan bareng? Ada yang pingin gue omongin."

Alex menyetujuinya kemudian berpisah dari teman - temannya.
Kami berjalan ke Plaza yang terletak di sebrang kampus.
Setelah memilih - milih restoran yang tepat, kami masuk ke restoran cepat saji.
Kami memesan paket makanan, kemudian duduk di salah satu bangku.

"By the way, intinya sih gue pingin bilang makasih buat kemaren." aku membuka pembicaraan.

"Hahaha...santai aja lagi. Gue paling nggak tega ngeliat cewe nangis." Alex menjawab dengan riang. "Udah baekan sama Lexi?"

Aku mengangguk sambil mengunyah kentang yang ada di hadapanku.

"Tapi ada masalah yang lebih serius."

"Masalah apa?" Alex terlihat bingung.

"Kemarin mendadak bokap nyuruh gue pindah ke Singapur. Lebih tepatnya gue dan bokap bakal pindah kesana berdua."

"Terus kuliah lo?"

"Disana start dari awal. Gue bener - bener mumet. Gue cuma punya waktu seminggu buat pindahan."

"Nggak bisa dibujuk?" Alex tampak cemas.

Aku menggeleng putus asa.

"Gue tau bokap. Walaupun nggak galak, tapi bokap orangnya tegas. Dan emang bener sih, kalo gue nggak nemenin bokap disana, siapa lagi?"

Alex mengetuk - ngetukkan jarinya ke meja.
Dia juga sepertinya bingung, bahkan tampak lebih bingung daripadaku.

"Elo udah cerita ke Lexi?"

Lagi -lagi aku menggeleng.

"Kemarin nggak pas waktunya. Tapi gue pasti bakal cerita ke dia kok."

"Wah...kejadiannya kok bisa gini lagi ya? Lyn dan elo...sama - sama mesti keluar negri." Alex menghela nafas panjang.

Ya, memang keadaan kami hampir serupa.
Tapi di lubuk hatiku berbisik semoga endingnya tidak sama dengan Lyn.
Setelah menghabiskan makanan, aku berjalan dengan Alex kembali ke kampus.

"Tapi ngeliat sikap Lexi ke elo, gue rasa dia bakal bilang, jangan pergi." Alex berusaha menghibur.

Aku hanya tersenyum kecil menanggapi hiburannya.
Akhirnya kami berpisah jalan di tempat parkiran.
Aku berjalan menuju ke halte bis untuk pulang.

Haruskah aku bercerita secepatnya pada Lexi?
Waktuku sempit, hanya seminggu.
Tapi entah mengapa rasanya aku takut.
Takut menerima jawaban yang pahit.

Bagaimana jika Lexi justru minta putus karena tidak kuat LDR?
itu artinya, dalam pertandingan dengan Lyn, aku yang kalah.
Dan itu artinya, arti keberadaanku untuk Lexi tidak sedalam yang kupikirkan.

Kutekan nomor telpon Lexi.
Ya, aku harus mengatakannya hari ini juga.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara Lexi mengangkat telpon.

"Kenapa bulet?" dia bertanya seperti biasa.

"Elo dimana? Boleh ketemuan?"

"Lagi di rumah. Nggak ada kuliah hari ini. Elo di kampus? Gue jemput deh."

Telpon ditutup kemudian aku duduk menunggu di halte bis.
Sekitar 15 menit kemudian, Lexi datang untuk menjemputku.
Aku naik ke boncengan motornya, dan melaju ke arah rumahku.

"Kangen ya, pingin ketemu?" Lexi bertanya sambil meledek.

Aku hanya tersenyum kecil dan memeluk pinggangnya erat - erat.
Rasanya, perasaanku kurang baik.
Seolah ada firasat buruk.

Sampai di depan rumahku, aku turun dari motor dan melepaskan helm.
Lexi baru akan melambaikan tangan, ketika aku memegang lengannya.
Dia tampak bingung.

"Minggu depan...gue pindah ke Singapura sama bokap." aku berkata sambil tertunduk.

Suasana mendadak hening.
Aku mengangkat kepala dan melihat Lexi menatapku lurus tanpa ekspresi.

"Bercanda ya? Hahaha..." Lexi tertawa garing.

Tapi melihat ekspresiku yang serius sambil mengerutkan dahi, tawa pudar dari wajahnya.

"Serius?" Lexi mendadak panik sendiri.

"Ngapain gue boong."

Bahu Lexi terjatuh lemas.
Dia sepertinya sedikit shock.
Perlahan, dia melepaskan lengannya dari peganganku kemudian menatapku dengan wajah sedih.

"Kenapa pindah? Kenapa harus pindah?" Lexi bertanya.

Aku hanya menggeleng.
Aku tidak mengerti bagaimana harus menjelaskan padanya.
Ekspresi Lexi tampak pucat pasi.

"Kalo gue pergi, pindah...gimana?" aku bertanya.

Dalam hati berpuluh - puluh kali aku bergumam.
Semoga dia akan menghentikanku.
Semoga dia berkata aku tetap di sini dan membiarkan papa pergi ke singapura sendirian.
Aku menatap matanya dalam - dalam.

"Maaf..."

Lexi dengan cepat menutup cover helmnya dan melaju pergi.
Aku terpaku diam di tempat.
Maaf?

Sebuah kata itu saja yang dapat diucapkannya?
Apakah itu berarti...dia merelakan kepergianku begini saja?
Dan itu artinya...dia tidak berbuat apapun untuk menghentikanku?

Seketika, tangis menghambur diriku.
Aku tidak mampu membendung rasa panas yang membakar jantungku perlahan.
Rasa pedih sekali.
Dengan singkat kata, dia tidak menginginkanku untuk selalu berada di sampingnya lagi.

Langit mulai berubah kelabu.
Tapi tidak lebih kelabu daripada hatiku.
Lexi...
Selamat tinggal...

No comments:

Post a Comment

I'm looking forward to your comments and critics so I can make a better blog in the future. Thx a Lot. G.B.U.-Fei-