•●♥ About FeiwenZ ♥●•
Born at Jakarta in 1992.
A designer who loves music, games, and internet-friendly.
Great fan of Cinnamoroll cartoon character published by Sanrio.
Creative, fast learner, cheerful, hardworker, and friendly are 5 words to describe her.
Graduated in 2009 from Budi Mulia Senior High School.
Then, she took Design major in Tarumanagara University until present.
She finds experience by working freelance as a designer, photographer, and writer. She took part time jobs since High school as a Freelance Sales and Product Consultant.

Monday, July 25, 2011

6. Trap

Aku turun dari boncengan motor Lexi disusul Frey yang muncul beberapa saat kemudian.
Kami berjalan keluar area parkir dan menuju pintu masuk bioskop.


"Eva..." Frey berbisik dan mengisyaratkanku untuk mendekat padanya. "Sori ya...gara - gara Martin, suasananya jadi nggak enak."


"Lagian, kok bisa sih tadi si biang kerok itu ngobrol asik banget sama elo? Gue juga tadi kaget banget." tanyaku heran.


"Tadi tuh dia nyariin elo. Terus..."


Kata - kata Frey terpotong saat Martin berdiri di sebelahnya dengan tatapan menyelidiki.
Aku langsung berdiri menjauh dan berjalan sendiri di depan.


"Va..." Lexi memanggil dari belakang. "Kita serius mau pergi nonton?"


"Menurut lo?" kubalas dengan jutek. "Gara - gara elo, hampir si Martin itu salah sangka."


"Kok gue?" Lexi membela diri. "Gue cuma ngobrol sama Frey. Emangnya salah?"


"Hmm...menurut elo?" tanyaku balik. "Engga salah si, kalo elo gak cekikikan super akrab di depan cowoknya."


Lexi terdiam sambil berjalan di sebelahku.


"Kita jadi double date, dong?" 


"What?!" aku bertanya terkejut. "Gue nggak mau disebut ngedate bareng elo. Dan inget tujuan kita pergi berempat, pura - puranya elo temen gue. Biar Martin nggak salah sangka ke Frey."


"Hmm...pura - pura jadi temen? Emangnya dari kemarin kita tuh apa? Musuhan?"


"Setidaknya bukan gue yang mendadak ngambek trus pulang tanpa pamit." jawabku singkat.


Wajahnya terdiam kemudian tatapannya lurus ke depan. 
Sepertinya aku sudah salah bicara lagi. 
Aduh, kenapa cowok yang satu ini sensitif sekali, sih?
Apakah aku harus minta maaf, termasuk soal kata - kataku waktu itu?
Kalau Lexi ngambek lagi sekarang, bisa gawat.


"Ehmm..sori..." kataku terbata - bata.


"Gini aja deh,...daripada elo pura - pura jadi temen gue, kenapa nggak sekalian pura - pura jadi pacar gue?"


Aku terkesima mendengar kata - katanya barusan.
Pura - pura jadi pacar? Apakah Lexi sudah gila?
Justru seminggu penuh ini aku berusaha menghindarinya serta Alex.
Dan sekarang disuruh pura - pura pacaran?


"Ogah." aku menolak dengan segera. "Ngapain mesti pura - pura jadian?"


"Emangnya elo tega ngeliat Frey sama Martin berantem diem - dieman terus kayak gini?" Lexi menunjuk mereka di belakang.


Memang sih, wajah Martin tidak juga mencair.
Frey berjalan sambil menunduk, menampakkan ekspresi Hopeless.
Inikah yang disebut 'pengorbanan seorang teman'?
Haruskah aku pura - pura jadi pacar Lexi agar kecurigaan Martin lenyap kepada Frey?
Otakku berpikir keras sampai akhirnya aku pasrah.


"Janji, cuma untuk hari ini. Dan inget, ini demi Frey." aku berpesan.


"Jadi....itu artinya boleh?" Lexi bertanya menyelidiki.


"Boleh apaan?" aku bertanya balik.


Mendadak Lexi menggandeng tanganku, kemudian menoleh ke arah Martin.


"Bro, elo berdua ngedate aja. Gue sama cewe' gue tersayang ini, mau ke tempat lain yang lebih asik. Boleh?" tiba - tiba Lexi menuturkan.


Martin dan Frey tampak kaget dan melongo.


"Cewe...?" Frey bergumam dengan bahasa bibir tanpa suara.


"Oh...jadi elo berdua jadian?" Martin tidak kalah kagetnya.


"Thanks to Frey yang udah nyomblangin gue." Lexi menjawab dengan percaya diri. "Sayang, kita pergi yuk?"


Aku membatu dan merinding hingga ke leher.
Kalimat menjijikkan yang diucapkan oleh Lexi seakan menggema di telingaku.
Apakah tidak ada panggilan lain yang lebih norak daripada itu?
Tapi, aku harus ikut berakting demi meyakinkan Martin.


"Ya...terserah elo."


Lexi menuntun tanganku kembali memutar ke parkiran motor, meninggalkan Frey dan Martin yang berdiri membatu.
Sepertinya rencana Lexi berhasil dengan sukses.
Aku naik ke boncengan motor Lexi, kemudian meninggalkan gedung bioskop.


"Okey, urusan udah beres. Anter gue pulang sekarang." aku meminta Lexi.


"Lho, bukannya kita mau ke tempat yang lebih asik?"


"Hah? Gue nggak pernah janji mau pergi kemanapun bareng elo." aku membantah.


"Katanya tadi, janji pura - pura jadi cewek gue untuk sehari? Kalo elo mau ngebatalin, bisa sih gue kasih tau Martin yang sebenernya..."


Ih! Menyebalkan sekali dia! 
Toh masalah ini ada kan' karena ulahnya juga!
Kenapa jadi aku yang ikut terseret - seret?
Mau tidak mau, demi tutup mulut, aku diam dan mengikuti maunya Lexi.


"Pokoknya kalo ada kesempatan, pasti gue bales!" aku mengancam balik padanya.


Lexi hanya tertawa dan melajukan motornya menyusuri jalan.
Sepertinya aku mengenal jalan ini. 
Ya...ini jalan yang menuju daerah pantai. 


Dan ternyata, benar dugaanku. Lexi memarkir motornya kemudian mengajakku berjalan mendekati laut.
Bau air laut yang asin segera tercium saat angin bertiup kencang.
Sudah lama sekali aku tidak pergi ke laut.
Terakhir kali, aku pergi ke sini bersama teman - teman SMA ku seusai pelajaran berenang dari sekolah.
SMA ku yang dulu memang mewajibkan mata pelajaran renang untuk UASnya, dan karena sekolah kami tidak memiliki kolam renang sendiri, sehingga terpaksa pengambilan nilai diambil di kolam renang umum.


Lexi melepaskan jaket dan sendal yang dipakainya kemudian menyodorkannya ke arahku.
Aku mengambil jaket tersebut kemudian menaruh sendalnya di atas pasir.
Dia berjalan ke arah laut hingga tinggi ombak menyentuh mata kakinya.


Sinar matahari sore yang menerpanya dari depan, membentuk siluet.
Kutatap punggungnya dari belakang.
Sebenarnya aku masih bingung mengapa dia mengajakku ke tempat seperti ini?
Mungkinkah dia mendadak ingin berenang?
Jika berenang di laut adalah kegiatan yang dia anggap lebih 'asik' daripada nonton dengan Frey, berarti seleranya sangat payah.


"Hari ini...gue genap 21 taun." dia berkata tanpa aba - aba.


Aku terkejut dan menghampirinya dengan cepat.


"Hari ini, elo ulang tahun??" aku berkata dengan heboh.


"Kenapa, kok kayaknya elo kaget gitu? Bukannya wajar ya, kalo orang ulang tahun setahun sekali?"


"Ya iya sih...tapi gue nggak tahu kalo itu hari ini..." suaraku semakin pelan. "Gue nggak bawa kado..."


"Makanya, jadi pacar gue sehari ini. Gue anggap itu sebagai kado."


Kuangkat wajahku dan melihat senyumnya diterpa mentari berwarna oranye.
Untuk beberapa detik, aku terkesima. 
Tatapan matanya yang nakal dan terkesan angkuh sejak pertama kali aku melihatnya mendadak hilang entah kemana.
Yang kulihat di sana, justru sosok cowok biasa yang entah mengapa sedikit muram.


"Nggak dirayain di rumah?" Aku bertanya sambil duduk di atas pasir, sedikit lebih jauh ke belakang untuk menghindari ombak yang terhempas kian kemari.


"Nggak pernah. Sejak nyokap nggak ada, nggak ada yang rayain ultah gue." dia berkata begitu sambil tertawa seolah mengasihani dirinya sendiri.


Lagi - lagi sebuah kejutan kudapatkan darinya.


"Nyokap gue...juga meninggal waktu ngelahirin gue." aku menyambung dengan lemah. "Katanya, dia pendarahan terlalu banyak. Fisiknya lemah, tapi maksa buat ngelahirin gue secara normal."


Lexi menoleh dengan cepat dan menatapku dengan simpati.


"Maaf, gue nggak bermaksud..."


"Gak apa." aku memotong kalimatnya. "Justru gue makasih ke elo, gue jadi tau bahwa di dunia ini yang kangen nyokapnya setelah dewasa bukan cuma gue."


Aku berusaha untuk tersenyum selebar mungkin.
Kembali terbayang di benakku bagaimana seandainya ulang tahunku dirayakan oleh mama?
Tentu dia akan membuat kue ulang tahun yang besar untukku. 
Juga, dia akan membelikanku sepasang sepatu baru atau gaun yang terlihat manis.
Jika aku tumbuh dengan sosok seorang mama di sampingku, pasti aku akan tumbuh jauh lebih feminim daripada aku yang sekarang.


"Eva,...jangan muram. Maaf..." Lexi berkata dengan nada penuh sesal. "Nyokap gue nggak meninggal kok..."


"Maksud elo?"


"Nyokap gue enggak meninggal. Gue nggak tahu kalo ternyata malah nyokap lo...ya...udah nggak ada."


Darahku langsung mendidih.


"Brengsek!" aku memaki padanya. "Elo pikir, hal kayak gini cuma buat mainan, hah!? Buat keren - kerenan doang?!"


Lexi ikut bangkit berdiri.


"Makanya gue barusan minta maaf. Kayaknya elo udah salah paham. Gue gak nganggep itu cuma mainan...tapi..."


"TRUS APA?! BERCANDA?! Gue kasih tau ya, bercandaan lo sama sekali NGGAK LUCU! Nyokap lo masih sehat seenaknya aja lo bilang udah gak ada! Belom tau sih' rasanya selama 18 taon pingin manggil 'mama' tapi udah nggak ada! Gak pernah ketemu sosok orang yang ngelahirin elo. Itu yang elo jadiin bercandaan?!" aku membentak padanya.


Tidak mempedulikan orang yang menoleh di sekitar, kulempar jaketnya ke arah dia, kemudian aku pergi menjauh dari sana.
Lexi memakai sendalnya dan menyusulku secepat mungkin.


"Eva...! Maafin gue! Dengerin dulu penjelasan gue."


Aku benci, benci, benci! Aku menyesal tadi sempat menceritakan sepotong kisah tentang mama!
Orang seperti dia, yang tidak perah serius dan menganggap segalanya sepele, sungguh menjijikkan!
Tidak satupun hariku yang tenang jika sudah bertemu salah satu dari si kembar itu.
Aku tidak sudi lagi berbicara dengan salah satu dari mereka.
Cukup sampai di sini saja aku berurusan dengan mereka.


No comments:

Post a Comment

I'm looking forward to your comments and critics so I can make a better blog in the future. Thx a Lot. G.B.U.-Fei-