•●♥ About FeiwenZ ♥●•
Born at Jakarta in 1992.
A designer who loves music, games, and internet-friendly.
Great fan of Cinnamoroll cartoon character published by Sanrio.
Creative, fast learner, cheerful, hardworker, and friendly are 5 words to describe her.
Graduated in 2009 from Budi Mulia Senior High School.
Then, she took Design major in Tarumanagara University until present.
She finds experience by working freelance as a designer, photographer, and writer. She took part time jobs since High school as a Freelance Sales and Product Consultant.

Monday, July 25, 2011

30. He Was Better

Sambil menguap, aku memperhatikan dosen yang sedang mengajar di depan kelas.
Untunglah beberapa saat kemudian, dosen membubarkan pelajaran.
Aku menggendong tas dan bersama Frey berjalan keluar kelas.

Memang seharusnya aku menikmati tiap menit yang tersisa bagiku di kampus ini.
Tepatnya besok malam aku sudah pindah ke Singapura.
Tapi...sejak 3 hari ini ada sesuatu yang berbeda.

"Eva, dah selesai?" Alex bangkit dari lantai, tempatnya duduk.

"Lho, kok elo duduk di sini?" aku bertanya bingung.

"Nungguin elo selesai kelas. Yuk makan?" dia mengajakku. "Frey ikutan?"

Frey tampak terkejut, namun kemudian menggeleng.

"Nggak. Gue udah ada janji sama Martin. Kalian makan aja."

Frey kemudian berjalan ke arah yang berlawanan dengan tangga turun.
Aku menoleh dengan tatapan memelas kepada Alex.

"Elo bolos lagi?" aku bertanya.

Alex hanya mengangguk ceria tanpa dosa.

"Gue udah bilang, ngapain tiap hari madol cuma nungguin gue selesai kelas? Ini udah hari ketiga lho."

"Yaa...kan gue takut selesai kelas, ntar elo keburu pulang. Biar aman, gue tungguin."

Aku hanya menggeleng kemudian berjalan dengannya ke kantin.
Sekilas terbayang di kepalaku, kejadian 3 hari lalu. 
Saat itu Alex bilang dia suka padaku.
Dia ingin aku jadi pacarnya; ketimbang Lexi.

Sejak saat itu pula tidak hentinya dia gencar berusaha selalu berada disampingku.
Kadang sikapnya memang tidak terduga.
Misalnya, saat kubilang siang ini panas terik, dia langsung membeli payung untuk meneduhi kami berdua.
Saat aku ngantuk, dia bernyanyi sambil menari dengan gaya yang kocak sekali.

Jujur saja, selama 3 hari ini aku puas sekali tertawa.
Hanya dengan sebuah kalimat, Alex membuatku tertawa terpingkal - pingkal.
Tapi sesampai di rumah, saat bengong sesaat, langsung pikiranku melayang...kepada Lexi.
Terbayang apa yang sedang dilakukannya tanpaku.

Apakah Lexi juga senang, dan sedang menikmati waktunya?
Apakah dia benar - benar ingin mengakhiri semuanya secara sepihak seperti ini?

"Va....va!" mendadak panggilan Alex memecah lamunanku.

Aku langsung menoleh pada Alex yang sedang berjalan di sampingku dan memasang ekspresi ngambek yang dibuat - buat.

"Ngelamun lagi. Sebel dehh..."

"Hahaha...maaf. Tadi ngomong apa?"

"Kita makan apa? Cuma nanya itu doang sih'"

"Ooh...apa ya? Apa aja boleh sih." aku menjawab asal.

Jujur kuakui, usaha Alex sangat keras setiap hari untuk membuatku tertawa atau minimal tersenyum.
Tepat seperti yang dikatakannya; dia ingin membuatku selalu senang.
Tapi...semua yang dilakukannya tidak mampu meruntuhkan tembok hatiku.
Tembok yang terlanjur dibangun, untuk menyimpan nama Lexi di dalamnya.

Kami berjalan ke restoran yang hanya menyediakan menu steak.
Aku memesan tenderloin dan Alex memesan steak ikan.
Aku mengunyah steak sambil menatap orang yang lalu lalang di depan restoran.

"Va,...Besok kan pindahnya?" Alex bertanya.

"Iya. Pesawatnya jam 9 malem. Kenapa?" aku bertanya.

"Nggak, pingin tau doang. Sampe sana jangan lupa kabarin yah."

Aku mengangguk dan melanjutkan makan steak hingga habis.
Seusai membayar tagihan, kami berjalan keluar dari restoran.

"Al, besok Lexi bakal dateng?" aku bertanya.

Untuk sesaat, kugigit bibirku sendiri.
Bisa - bisanya aku bertanya seperti itu di depan Alex.
Bukannya sangat tidak sopan, sementara aku sudah tahu jelas bahwa Alex menyukaiku.
Aku malah menanyakan soal Lexi.
Diluar dugaan, Alex hanya tersenyum dan memasang wajah bodohnya yang khas.

"Nggak tahu. Tapi...yang jelas..."

"Alex?" mendadak seorang cewek menepuk punggung Alex dari belakang.

Alex berbalik dan tampak terkejut.
Berdiri segerombolan cewek disana.
Sekitar 4 orang, sepertinya seangkatan dengan Alex.

"Lho, kok bisa di sini juga?" Alex bertanya.

"Hari ini lagi hoki. Nggak sengaja kemari, taunya ketemu elo. Hayolohh...tadi pagi bolos ya?"

"Wahh...kirain sakit, nggak bales sms gue. Taunya lagi ngedate." salah seorang cewek menimpali. 

"Gimana sihh...katanya minggu lalu janji makan es bareng. Malah antriannya diserobot fans baru." cewek itu melirikku sekilas.

Alex hanya tertawa garing menanggapi kalimat para cewek itu.

"Baru selesai makan? Nonton bareng yuk. Ajak gandengan elo juga." cewek itu mengajak.

"....Oke" Alex langsung mengiyakan. "Tapi, gue nganter dia pulang dulu. Kasian ntar ikut nonton malah dikerjain fans gue."

Para cewek itu hanya menanggapi dengan senyum dan tawa yang terkekeh - kekeh.
Aku terkejut dan terdiam.
Well, memang aku dan Alex tidak sedang janjian pergi seharian atau semacamnya.

Tapi,...dia langsung menerima ajakan perempuan itu pergi tanpa berpikir untuk beberapa saat.
Aku langsung teringat Lexi yang dikerumuni oleh para penggemarnya, tapi lebih memilihku.
Alex membalik badan kembali kepadaku.

"Va, sori banget. Gue mesti pergi bareng mereka nih kayaknya. Kalo nggak bisa diamuk. Elo gue anter pulang dulu yuk?" Alex menawarkan.

"Eh, nggak usah. Gue mau ke toko buku dulu lagian. Elo jalan aja gih. Daripada dikeroyokin rame - rame." kataku berbohong.

"Bener?" Alex meyakinkan.

Aku mengangguk dan berbalik pergi.
Aku berjalan menuju halte bis terdekat.
Aku langsung teringat di hari Lexi melarikanku menjauh dari para fans yang mengepungnya.
Hari itu, seakan Lexi tidak peduli pada gadis lain.
Seakan, cewek lain tidak ada artinya dibanding aku.

Gawat, aku jadi sedih lagi.
Padahal aku sudah berjanji tidak akan muram.
Ya...aku harus melupakan Lexi perlahan, beserta segala hal tentangnya.
Meski harus kuakui, sama sekali tidak mudah.

Besok, aku akan pergi dan memulai hidup yang baru jauh dari kota ini.
Pasti aku akan baik - baik saja.
Selengkapnya...

29. Dilemma

Hampa.
Itulah sepotong kata yang menggambarkan apa yang kurasakan saat ini.
Sudah 3 hari berlalu sejak aku mengatakan kepada Lexi tentang rencana kepindahanku ke Singapura 4 hari lagi.
Sejak itu pula...kabar darinya menghilang.

Tidak ada lagi sms selamat pagi darinya.
Tidak ada lagi senyumannya yang mengacak - acak rambutku dengan iseng.
Tatapan lembutnya yang menjagaku...absen dari keseharianku.

Aku sedang duduk sendirian di taman dekat lapangan basket kampus.
Sudut hatiku berharap Lexi mendadak latihan basket seperti biasa, dan aku bisa melihatnya.
Tapi, jika bertemu dengannya nanti, aku harus bagaimana?
Dengan pikiran yang semakin mumet, kuteguk jus jeruk dari botol yang sedang kupegang.

Pundakku ditepuk oleh seseorang.
Saat aku menoleh, jus yang sedang berada dalam mulutku menghambur keluar.
Aku kaget sekali mendapati Lyn yang ternyata memanggilku.
Dia tertawa kecil melihatku yang kaget setengah mati.

Kemudian Lyn duduk di sebelahku.
Rambutnya yang berwarna coklat lembut melambai tertiup angin.

"Nyariin Lexi ya?" dia bertanya padaku.

"Nggak juga." aku berbohong.

Kualihkan pandanganku kembali ke ring basket yang kosong.
Aku bukan mencari Lexi; tapi aku menunggu dia.
Kurasa yang sedang kulakukan ini agak bodoh.
Mengingat dia sama sekali tidak mengabariku selama 3 hari ini.

"Sejak ke taman hiburan, Lexi nge-reject semuanya." Lyn mendadak bergumam. "Text message, telepon, bahkan saat aku ke home dia, Lexi nggak keluar kamar sama sekali."

Aku tercengang mendapat penjelasan darinya.
Hanya tatapan lurus tanpa ekspresi yang seolah bertanya 'kok bisa?'

"What happened? Antara kamu sama dia...pasti terjadi sesuatu." Lyn langsung bertanya to the point.

"Itu...nggak tahu juga sih..." aku menjawab dengan pelan. "Minggu depan, gue mesti pindah ke Singapura."

Kali ini gantian ekspresi Lyn yang kaget.

"For real?! Kamu bakal keluar negri juga?!" dia tampak sangat terkejut. "Pantes Lexi jadi bener - bener shock. All of his girlfriends...pergi ninggalin dia."

"Gue juga nggak pingin... tapi gimana. Keputusannya udah fixed."

"Trus, Lexi bilang apa soal ini?"

"Dia cuma bilang maaf." aku menjawab dengan putus asa. "Setelah itu sama sekali nggak kontek gue lagi."

Duh, mengapa aku harus menampakkan ekspresi putus asa di depan Lyn?

"Aku iri sama kamu, Va." mendadak Lyn berkata dengan nada sedih.

"Iri? Kenapa?" aku bingung.

"Lexi...waktu aku mau pergi ke Aussie, he was very happy. Katanya aku mesti belajar di negri orang biar mature. Sedangkan kamu,...he's very shocked for losing you. Pasti kamu berarti banget untuk dia."

"Masa? Tapi...bukannya dia nge relain gue pergi gitu aja karna nggak menginginkan gue lagi? Karna...dia nggak mau berkorban untuk Long distance relationship sama gue?" aku makin menyangkal.

"Hahaha...It's up to you kalo nggak mau percaya. The point is,... I give up." Lyn berkata sambil mengangkat tangannya. "Mendengar hal barusan, aku udah yakin bahwa aku kalah telak. There's no point for us untuk lanjutin pertandingan ini."

Lyn bangkit berdiri dan berjalan menjauh dariku.
Tapi setelah 3 langkah, dia berbalik dan menghadapku lagi.

"Meski begitu, can we be friends?" Lyn mengulurkan tangannya untuk kujabat.

Aku menyambutnya dengan senyum kemudian dia berlalu pergi.
Meninggalkanku dengan sebuah tanda tanya besar di kepalaku.
Apakah benar yang dikatakan Lyn barusan?
Bahwa apa yang dirasakan Lexi justru bertolak belakang dengan apa yang kupikirkan?

Lalu, kenapa selama 3 hari ini Lexi benar - benar menghilang?
Aku harus memastikan sendiri ke rumah Lexi.
Apakah benar yang dikatakan oleh Lyn.

Dengan ngebut, aku berlari menuju halte bis.
Bis yang pertama kali lewat di hadapanku, langsung kunaiki menuju rumah Lexi.
Sesampainya aku di hadapan rumah Lexi, langsung kupencet bel yang ada di sana.
Dengan tidak sabar, dan nafas yang masih terengah - engah, aku menunggu pintu dibuka.
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka.

"Lexi!" aku memanggil dengan segera.

Tapi ternyata yang membuka adalah tantenya, Ellen.

"Eh, Eva. Udah lama nggak main kemari. Ada perlu apa?" tantenya bertanya dengan kalem.

"Itu...saya nyari Lexi. Ada?"

"Aduh, sayang banget. Kebetulan Lexi lagi pergi. Tapi biasanya nggak lama kok. Mau nunggu di dalam aja? Ada Alex."

Aku menyetujui dan mengikuti tantenya untuk masuk kedalam.
Bu Ellen mempersilakanku duduk di ruang tamu sementara ia memanggil Alex dari kamarnya.
Aku memperhatikan foto - foto yang tergantung di ruang tamu.
Beberapa saat kemudian, Alex turun dan duduk di sebelahku.

"Wah...tumben kemari. Nyari Lexi ya?" Alex bertanya dengan iseng.

Tapi melihat ekspresi muram di wajahku, senyumnya perlahan memudar.

"Kenapa, Va? Bukannya kalian udah baikan?"

"Baikan sih' udah Al. Tapi sekarang ada yang lebih parah lagi."

"Maksudnya?" Alex semakin bingung.

"Di hari gue cerita ke elo soal kepindahan gue ke Singaupur 4 hari lagi, hari itu juga gue cerita ke Lexi."

Alex membetulkan posisi duduknya, tanda bahwa ia siap mendengarkan.

"Tapi respon dia cuma satu...dia cuma bilang Maaf dan sama sekali hilang kabar."

"Lho, jadi 3 hari ini dia nggak ngabarin elo sama sekali?"

Aku mengangguk lemah.

"Trus, dia sering pergi - pergi, sering sms dan telpon tanpa henti itu sama siapa?" Alex mendadak bertanya balik.

"Hah? Smsan? Telponan?!" Aku lebih terkejut lagi. 

Aku baru akan bertanya apakah Lyn; saat aku teringat pada pernyataan Lyn tadi di lapangan basket.
Lexi juga menghindari dia sejak pulang dari taman hiburan.
Apakah itu artinya...Lexi sudah dekat dengan orang lain sehingga dia merelakanku begitu saja?
Ya ampun...ternyata begini keadaannya.

Mataku mulai berkaca - kaca dan tanpa bisa kutahan, aku mulai menangis.
Rasanya sakit di hati ini.
Lexi sama sekali tidak ada kabar, sementara Alex bilang dia selalu sibuk telpon ataupun sms tanpa henti
Lexi disibukkan oleh orang lain.

Aku menundukkan kepala dan air mataku menetes di atas lenganku sendiri.
Mendadak tangan Alex merangkul bahuku.
Dia menarikku untuk meletakkan kepala di dadanya.
Aku terkejut dan berusaha melepaskan diri.

"Al?!" aku berseru panik.

"Nggak apa. Nangis aja. Anggap aja gue tisu buat elo." Alex mendekapku.

Bahuku bisa merasakan ujung tangannya gemetar.
Jantungnya berdetak dengan keras.
Dilihat sekilas, seperti Lexi yang sedang merangkulku.
Tangisku makin menjadi - jadi.

Selama hampir setengah jam, aku menangis bersandar pada Alex.
Beberapa kali aku memukul Alex; kuanggap dia adalah Lexi.
Mengapa di saat seperti ini justru Alex yang menampung segala sedihku?

Seusai 'puas' menangis, aku pergi ke kamar mandi dan mencuci wajahku.
Penampilanku pasti berantakan sekali.
Mataku sedikit sembab.
Tapi, setelah pulang dari sini aku tidak boleh menangis lagi.

Aku keluar dari kamar mandi dan melihat Alex masih duduk di tempat yang sama.

"Al...maaf ya uda ngerepotin. Gue mesti pulang sekarang." aku menundukkan kepala tanda berterima kasih.

"Eva..." Alex bangun dari kursi dan berdiri di hadapanku. "Mulai sekarang, jangan pernah nangis untuk Lexi lagi."

"Iya, gue juga udah bertekad..."

"Lupain Lexi. Gue bisa lebih baik dari dia. Gue bakal selalu bikin elo tersenyum. Gue nggak tahan liat elo terus - terusan dibikin nangis sama dia."

"Hah?" aku jadi bengong sendiri menanggapi kalimatnya.

"Gue sayang sama elo, Va. Gue mau elo jadi pacar gue."

Seakan nafasku tercekat mendengar kalimatnya.
Alex bilang suka padaku?
Apakah dia hanya bercanda?
Tapi...wajah yang sama itu. Persis seperti Lexi yang mengungkapkan suka padaku.

Mau tidak mau, jantungku berdebar lagi.
Rasanya bumi yang kupijak terdiam untuk beberapa saat.
Akhirnya aku kembali pada kewarasanku.

"Al, tapi gue nggak mikir kesana. Gue...masih sayang Lexi."

"Nggak masalah. Sebelum kepindahan lo ke Singapura, selama 4 hari ini, gue akan bikin elo suka sama gue. Please, kasih gue kesempatan."

Aku mundur selangkah darinya.
Apa yang terjadi?
Sebelum ini, saat pertama kali bertemu dengan Alex memang pertama kali aku suka padanya.
Tapi sejak Lexi hadir, semuanya berubah.

Aku tidak pernah terpikir untuk menyukai Alex seperti rasa sukaku pada Lexi.
Meskipun wajah mereka sama, tapi rasanya tetap tidak bisa.

"Gue tetap nggak bisa." aku menjawab sambil berjalan pulang menghindari Alex.

"Gue nggak akan berhenti berusaha." Alex menanggapi tanpa membalik badan.

Aku berlari secepat mungkin menuju ke rumah.
Masih tidak mempercayai apa yang baru saja terjadi.
Lexi... dan Alex...
baru sekarang aku merasa, sejak mereka berdua hadir dalam garis hidupku, seakan tiada hari yang tenang.

Segalanya terasa berputar lebih cepat dari biasanya.
Arghh...! Pusingggg..... Selengkapnya...