•●♥ About FeiwenZ ♥●•
Born at Jakarta in 1992.
A designer who loves music, games, and internet-friendly.
Great fan of Cinnamoroll cartoon character published by Sanrio.
Creative, fast learner, cheerful, hardworker, and friendly are 5 words to describe her.
Graduated in 2009 from Budi Mulia Senior High School.
Then, she took Design major in Tarumanagara University until present.
She finds experience by working freelance as a designer, photographer, and writer. She took part time jobs since High school as a Freelance Sales and Product Consultant.

Monday, July 25, 2011

14. Fight The Flu!

Aku memencet bel yang menempel di tembok sebelah dalam rumah Lexi.
Beberapa kali memanggil, tidak ada jawaban.
Akhirnya kukeluarkan handphone dan menelpon Lexi.

"Lex...gue di depan. Bukain pintu dong."

"Ha...? Ya..." Suara Lexi terdengar lemas.

Tidak berapa lama kemudian,  pintu dibukakan oleh Lexi.
Dia terlihat acak - acakan dengan kaos kebesaran, celana rumah, dan wajahnya...pucat sekali.

"Elo kenapa? Kayak habis kena badai." aku bertanya.

"Tutupin pintunya ya." dia berkata dengan lemah sambil berbalik masuk ke dalam rumah.

Aku menutup pintu kemudian mengikuti Lexi dari belakang.
Dia terlihat sempoyongan jalannya.

"Elo kenapa?" aku bertanya sekali lagi.

Lexi batuk - batuk dan tidak menjawab.
Sampai di kamarnya, dia langsung berbaring dan masuk ke dalam selimut.
Segera aku menghampirinya dan memegang dahinya.

"Ya ampun...panas banget. Elo masuk angin?" aku bertanya.

Dia mengangguk lemah kemudian batuk lagi.

"Udah minum obat?"

Dia menggeleng.
Kulihat di meja sebelah ranjangnya terdapat segelas air yang masih penuh.
Tapi airnya dingin sekali kena AC kamar ini.

"Bentar, gue ambilin air baru." kataku sambil berjalan keluar kamar.

Aku agak bingung mencari letak dapur yang ternyata berada di gang kecil di sebelah tangga.
Aku melihat termos air di dekat wastafel.
Di dalamnya terdapat air panas.
Segera kutuangkan ke dalam gelas, dan kucampur dengan air dingin.

Setelah memastikan airnya cukup hangat, aku berjalan kembali ke kamar Lexi.
Memang, kamarnya sangat dingin.
Kamarnya terbilang cukup luas. Isinya sebuah ranjang king size, dengan nuansa hitam-putih.
Terdapat rak pajangan yang cukup tinggi.
Isinya adalah miniatur ferrari dan lamborghini.
Memang dimana - mana cowok suka mengoleksi benda seperti ini.

Sebuah TV LCD ukuran 30 inci terletak di dinding, dengan dvd player disebelahnya.
Sebuah jendela kaca besar ditutupi tirai berwarna putih samar - samar membiaskan cahaya masuk.

Sebuah pintu yang kuyakini adalah kamar mandi terletak di sebelah TV.
Lemari pakaian dengan 3 pintu terletak di sebelah ranjang.
Untuk kamar seorang cowok, lumayan rapi dan menarik juga.

Aku berhenti memperhatikan sekeliling kamarnya.
Kumatikan AC yang menyala terlalu dingin itu, kemudian membalut Lexi dengan selimut setebal mungkin.
Bahkan bedcover yang terlipat di samping ranjang juga kugunakan sebagai selimut.

"Kok...dimatiin?"  dia bertanya.

"Iya, katanya kalo demam mesti keringetan biar panasnya keluar. Jangan dingin - dinginan."

Dia hanya memejamkan mata dan meneguk air hangat yang kuberikan.
Sekitar 15 menit kemudian, keadaan kamar sudah mulai gerah.
Aku turun kembali ke dapur dan mengambil semangkok es batu.

Kumasukkan es batu itu ke dalam kantong plastik.
Aku mencari handuk di keranjang yang terlipat di samping tempat tidur.
Kemudian kuletakkan es batu tersebut di dahinya, berlapiskan handuk.

"Cepet sembuh ya." kataku sambil mengompres dahinya.

Dia hanya menyunggingkan senyum kecil sambil tetap memejamkan mata.
Kukompres secara bergantian dahinya, leher kanan, dan leher sebelah kiri.

Kuperhatikan sekilas, agak terkejut juga seorang Lexi bisa sakit.
Tapi, mungkin gara - gara menungguiku di halte kemarin dan memberikan kemejanya kepadaku.
Aku jadi merasa bersalah.

45 Menit sudah berlalu tanpa kusadari.
Keadaan kamar sudah sangat gerah sekarang.
Bukan hanya Lexi, akupun ikut kegerahan.
Tapi harus kutahan, agar dia bisa sembuh.

Kulirik jam yang menunjukkan pukul 4 sore.
Sepertinya daritadi aku mondar mandir di rumahnya, tidak ada tanda - tanda orang lain di sini.
Kaos yang dipakai Lexi semakin basah karena keringat dan air yang menetes dari kantong kompresku.
Jika begini caranya, dia malah akan semakin masuk angin karena memakai pakaian yang basah.

"Lex...elo ganti kaos, mau nggak?" aku bertanya.

"Ambilin dong..." dia meminta sambil menunjuk lemari pakaiannya.

Aku membuka pintu paling kanan yang berisi sederet kemeja yang digantung.
Jelas bukan ini tempat kaos yang dia maksud.
Aku membuka pintu kedua yang berisi kaos dan celana panjang.
Aku melirik deretan kaos yang berada di hadapanku.

Kuputuskan untuk mengambil kaos yang kulihat dipakainya saat pertama kali aku kemari.
Kuberikan kaos itu kepadanya.

"Nih...ganti."

Dia membuka sebelah matanya dan memandangiku.

"Nggak usah ganti deh. Pusing banget..."

"Nggak boleh. Ntar tambah masuk angin." aku melarangnya.

Dia malah menutup selimut sampai ke kepalanya tanda penolakan atas saranku.
Aku menghampiri dan menyingkirkan selimutnya hingga ke perut.

"Ayo please diganti. Ntar habis itu lanjut gue kompres lagi."

Dia menggeleng lemah dan memutar badannya memunggungiku.
Kulihat bagian punggungnya juga sudah basah.

"Duh...bandel amat."

Aku kehabisan akal. Bagaimana cara membujuknya untuk berganti pakaian, ya?
Cara terakhir adalah harus kupaksa.
Kalau begitu, berarti harus aku yang menggantinya?

Tidak...tidak mungkin.
Aku tidak mau disangka meng apa - apakan dia!
Tapi...kalau dia masih keras kepala juga, berarti tidak ada cara lain.

Kuraih bagian bawah kaosnya dan kutarik perlahan ke atas.
Punggungnya mulai kelihatan sedikit.

"Mau ngapain?" Lexi tampak kaget dan mundur sedikit.

"Gantiin baju elo..." kataku dengan polos.

"Elo mau telanjangin gue?!"

"Nggak lah!" aku langsung membantah. "Tapi...daripada elo pake kaos basah..."

"Jangan...gue nggak mau ditelanjangin!"

"Gue nggak nelanjangin elo!" aku memprotes. "Cuma kaos doang kok!"

"Tapi...gue masih perawan, tau!" dia menutup selimut sampai ke lehernya.

"Ih,...amit - amit. Kayak mau diapain aja lo!" aku ngomel. "Udah jangan banyak protes. Siapa suruh tadi nggak mau ganti sendiri!"

Akhirnya aku memaksanya untuk membuka selimut yang menutupnya sampai ke leher.
Dia bersikeras tidak mau mengganti kaosnya yang sudah basah kuyup itu.

"Bandel amat sih!"

"Pornoooo...." dia merengek.

"Najis dahhhh....gue kagak porno in elo, kali!"

Kulempar kaos ke wajahnya.

"Sono, ganti sendiri! Gue tunggu di depan deh!" aku kesal akhirnya.

Saat aku membuka pintu kamarnya, Bu Ellen sedang berdiri di sana dan terpaku.
Astaga! Jangan - jangan dia mendengar teriakan Lexi barusan??
Waduh...bisa - bisa dia berpikir aku sedang melakukan sesuatu kepada Lexi?

"Eh...bu...daritadi kemana aja?" aku berbasa basi.

"Saya...baru pulang. Terus denger jeritan..." Bu Ellen menjawab dengan tawa yang ditahan.

Aku mengangguk kemudian ngibrit secepat mungkin ke ruang tamu.
Bu Ellen masuk ke kamar Lexi dan menutup pintu.
Syukurlah, sepertinya Bu Ellen yang menggantikan pakaiannya.

Duh, kenapa denganku ini?
Setiap kali kemari seolah - olah selalu membuat skandal dan kejadian tidak mengenakkan.
Semua gara - gara Lexi!
Kalau saja dia tidak bandel, pasti tadi dia mengganti kaosnya sendiri.
Bu Ellen juga tidak perlu salah paham.

"Eva..." Bu Ellen memanggil dari belakangku. "Kamu kemari mau latihan?"

Aku langsung bangkit berdiri dan mengangguk.

"Iya, tapi saya nggak tahu tadinya Lexi sakit." aku menjawab.

"Kebetulan juga, studio harus dipake anak kecil balet hari ini. Nggak apa?" Bu Ellen bertanya.

"Oh, nggak apa. Saya bisa latihan lain hari kok!"

Bu Ellen kemudian tersenyum dan mengajakku naik ke studio.
Di sana sudah berkumpul anak - anak kecil sekitar umur 3 hingga 9 tahun.
Mereka memakai leotard dan baju tutu.
Anak kecil memang terlihat imut.

"Hari ini kita kedatangan kakak yang mau lihat kalian latihan balet..." kata bu Ellen kepada anak - anak itu. "Kita latihan dengan semangat ya hari ini!"

"Yaaaa...!!" anak - anak itu menjawab.

Kemudian sepanjang 1.5 jam kedepan, kuhabiskan dengan memperhatikan anak - anak kecil berlatih balet dasar.
Memang, kelihatannya sangat simpel.
Tapi aku kagum seusia mereka sudah bisa merangkai gerakan dengan lembut jadi sebuah tarian.
Hampir semua anak kecil itu bisa melakukan split dengan mudahnya.
Aku agak iri di bagian itu.

Setelah langit berwarna biru tanda menjelang malam, aku pamitan pulang kepada bu Ellen.
Aku keluar dari studio dan berjalan melewati kamar Lexi.
Kamarnya sudah diterangi lampu remang - remang berwarna oranye.
Aku berjalan mendekatinya dan memegang jidatnya.

Panasnya sudah turun, hampir mendekati suhu normal.
Dia tertidur dengan tenang. Napasnya teratur, berbeda dengan sebelumnya.
Tadi saat panasnya tinggi, napasnya tidak beraturan.

Aku berjongkok di sebelahnya dan memperhatikan wajahnya dari dekat.
Bulu matanya panjang sekali.
Bila dilihat dari dekat begini, dia imut juga. Hehehe...
Lho...? Imut? Apa yang kupikirkan?

Aku menggeleng dan membuang pikiran tersebut.
Aku segera meninggalkan rumahnya dan berjalan pulang.
Semoga saja, besok dia sudah membaik...

No comments:

Post a Comment

I'm looking forward to your comments and critics so I can make a better blog in the future. Thx a Lot. G.B.U.-Fei-