•●♥ About FeiwenZ ♥●•
Born at Jakarta in 1992.
A designer who loves music, games, and internet-friendly.
Great fan of Cinnamoroll cartoon character published by Sanrio.
Creative, fast learner, cheerful, hardworker, and friendly are 5 words to describe her.
Graduated in 2009 from Budi Mulia Senior High School.
Then, she took Design major in Tarumanagara University until present.
She finds experience by working freelance as a designer, photographer, and writer. She took part time jobs since High school as a Freelance Sales and Product Consultant.

Monday, July 25, 2011

3. Ketika Badai Datang

Aku terbangun pukul 8 pagi.
Kuliah hari ini akan dimulai jam 10, maka sengaja kupasang alarm untuk membangunkanku 2 jam lebih awal.
Aku memang agak lamban di pagi hari.
Setelah mandi dan bersiap – siap, aku keluar dari rumah dan berjalan menuju halte bis.

Udara mulai pengap karena kendaraan mulai ramai.
Halte tempatku menunggu bis adalah halte utama.
Seperti biasa, keadaannya penuh sesak.
Kugeser ransel yang menempel di punggung ke arah depan, sekedar berjaga – jaga dari copet yang hendak meyambar apapun yang ada di dalamnya.

Bis yang melaju cepat di jalurnya membawaku tiba di kampus pukul 9.30.
Masih ada waktu yang panjang sebelum kelas dimulai.
Aku berjalan menyusuri gerbang dan melihat sekeliling.
Aku menoleh kesana kemari untuk mencari Frey yang biasanya tiba sekitar jam segini juga.
Lama tidak ada tanda - tanda dari Frey, kuputuskan untuk menunggu di kelas saja.

Saat melewati parkiran mobil, dari pojok kudengar suara yang aneh.
Kulihat 2 orang cowok tampak sedang bertengkar.

"Kasih duit elo kalo gak mau kenapa-napa! Gue pingin madol nih, butuh duit buat jalan!"

"Ngapain gue ngasih duit gue ke lo?! Makanya kalo gak ada duit gak usa jalan."

"Berani nasehatin orang, nyolot lagi! Anak angkatan berapa sih lo!?" kata orang itu semakin galak.

"Elo baru jadi angkatan atas, udah ngerasa bangga?" kata cowok yang dibentak itu.

"Jago bener lo ye?! Blom pernah dikeroyok anak angkatan atas yah!?"

"Blom tuh." Jawabnya.

Cowok yang galak itu ingin melayangkan tinjunya.
Seketika, dari sebelahku melesat seseorang yang menghadang tinju tersebut.
Larinya sangat cepat.
Sayang sekali, ia tidak cukup cepat untuk menepis pukulan itu dengan tangan, sehingga malah berbalik menghantam wajahnya.
Aku terpekik.
Cowok yang dihantam wajahnya itu pun tidak terjatuh melainkan masih berdiri tegak.

Ia kemudian berbalik melotot pada cowok galak itu.
Kukenali cowok yang dihantam itu adalah,.... Lexi!
Ya, aku tahu itu dia. Sorot matanya sangat dingin seakan ingin membunuhnya.
Pasti bukan Alex tentunya.

"Elo cari lawan yang sepadan! Jangan beraninya ngelawan anak baru!" bentak Lexi pada cowok galak itu.

Cowok galak itu merasa terpojok kemudian berlari pergi.
Hanya tersisa aku sebagai saksi dari kejadian itu, Lexi dengan pipi memar, dan cowok yang terselamatkan.

"Thanks." Cowok itu berkata singkat kepada Lexi. "Tapi, gue bisa sendiri kok, nggak usah dibantu."

Cowok yang hampir dipalak itu pergi dengan dingin.
Tidak tahu diri! Sudah dibantu sampai mengorbankan pipi, malah ketus sama penolongnya!

“Jutek banget sih jadi orang! Tadi, kalo nggak ada Lexi, pasti udah bonyok elo!” aku menghadrik cowok jutek itu.

Dia sepertinya terkejut dan menoleh kepadaku.
Dahinya berkerut kemudian dia tertawa.
Dia menggeleng dan bergumam pelan.

“Dasar cewek, selalu bawel.”

Dia berjalan pergi semakin menjauh.
Emosi lagi - lagi menghantamku.
Sudah dua hari ini aku selalu dihina oleh orang yang tidak kukenal.
Kucopot sepatu yang menempel di kaki kananku, lalu bersiap kulempar kearah cowok itu.
Tiba - tiba sebuah tangan menahanku

“Woi! Mau tawuran non?”

Aku menoleh dan kudapat Lexi sedang memegang lenganku.

“Habisnya, belagu banget tu orang!”

"Ya udah, cuekin aja. Entar juga kena batunya sama orang laen."

Aku menurunkan tanganku kemudian memakai kembali sendalku.
Saat kuangkat kepala, pipinya tampak lebam.

“Um,.. itu mau diobatin gak?” tanyaku sambil menunjuk pipi Lexi.

“Entar aja, di rumah. Kalo ngobatin sendirian, susah.”

“Udah, gue bantuin. Kalo enggak cepet diobatin, nanti bengkaknya tambah gede.” Kataku.

"Wah, perhatian sekali cewek ini." Ia meledek. "Tadi belain gue, pula."

"Kalo diledek, gak jadi deh. Gue lupa, elo cowok yang sering kecakepan. Dibantuin dikit, pasti bilangnya gue suka sama elo. Daripada nanti salah paham, mending obatin sendiri sana." Jawabku ketus.

"Iya, sori deh. Tolong ya bantuin gue kompres ni memar. Berabe kalo pulang ditanya - tanya nyokap."

“Cuma sori doang? Kemaren sok banget sama gue.”

“Iyaaaaaaaa maaf beribu maaf deh Ratu Agung Sri Baginda Putri…” dia memasang wajah memelas.

Harus kuakui, wajahnya persis sekali dengan Alex.
Membuatku sedikit luluh (hanya sedikit lho!).
Kuputuskan untuk mengibarkan bendera putih hanya hari ini saja.
Aku juga tidak ingin bertengkar di pagi hari.

Aku tersenyum lebar dan berjalan dengannya ke apotik yang terletak di sebelah kampus.
Sampai di sana, kami membeli alkohol dan kapas.
Kemudian ia duduk di bangku yang ada di sana.
Aku meraih alkohol dan kapas dari dalam plastik, lalu mulai mengoleskan di luka memarnya.

“Aduh...!” dia merintih kesakitan.

“Sori....sakit ya?” kataku khawatir.

“Gakpapa lah sakit. Kapan lagi diobatin sama cewek manis kayak gini? Sakit - sakit enak.” Katanya sambil nyengir.

Aku langsung merenyit dengan geli mendengar kata - katanya.
Dia memang gombal! Pantas saja banyak cewek yang suka padanya.
Tapi, aku tidak akan masuk ke perangkap yang sama!

“Elo ikut sepakbola?” tanyaku berbasa basi. “Sama kayak Alex ya?”

“Beda, kalo gue ikut basket. Tim inti lho.” Katanya sambil membanggakan diri. Aku hanya manyun melihat gayanya yang narsis sambil menggelengkan kepala.

“Jangan kebanyakan olahraga, tapi males belajar.” Kataku sambil menjulurkan lidah.

"Hee,... sembarangan. Gini - gini IP gue 3.5 Lho."

Aku menatap Lexi terkagum - kagum.
Ternyata mereka bukan sembarang kembar.
Memang sifat keduanya bertolak belakang, namun masing - masing memiliki ciri khas mereka sendiri yang tidak tergantikan satu sama lain.

“Nah, udah nih.” Kataku sambil menepuk pipinya yang tidak luka.

Dia mengaduh kesakitan. Aku hanya tertawa. Setelah kuobati lukanya, kami kembali ke kelas kami masing- masing.

Sesampaiku di kelas, aku menatap Frey yang sudah duduk di pojok kanan paling depan kelas.
Dia melambaikan tangan padaku.
Aku mengangguk dan menuju ke bangkunya, sampai kudengar pintu menjeblak kasar.

“Di kelas ini, siapa yang namanya Shelva?” panggil seseorang dengan kasar dari pintu.
Aku menoleh dengan cepat.

“Manggil gue?” tanyaku bingung.

“Oh, ternyata elo....”

Aku yang tidak merasa kenal dengan mereka, terus terang merasa bingung. Dia mendekatiku.

“Denger ya, jangan coba - coba lagi elo deketin Alex! Alex itu punya gue! Ngerti, lo?!” dia mendorong bahuku. “Kemarin gue liat elo pulang dibonceng dia. Kegatelan banget lo!”

Kubalas mendorong bahunya dengan lebih keras lagi. Lalu kupelototi.

"Kalo ngomong bisa sopan gak sih?! Gue juga nggak tau kalo elo itu ceweknya! Dia ga perna bilang ke gue." aku membentaknya balik dengan tatapan meremehkan.

"Jadi, elo mau bilang kalo Alex yang ngedeketin elo, gitu?! Ke-ge-er-an banget lo!" bentaknya sambil mendorongku hingga aku hampir terjatuh.

"Dateng - dateng nyolot banget lo!" bentakku.

Dia membalasnya dengan tamparan keras.
Pipiku terasa panas. Aku tidak terima dia memukulku.
Papa saja tidak pernah memukulku!
Kubalas tamparannya tepat di wajah.
Dia mulai memakiku dengan kata - kata kasar.

Beberapa anak cewek lain menjerit dan menyuruh kami untuk berhenti.
Anak cowok ada yang menyemangati, ada pula yang mulai memasang taruhan.
Aku sempat melihat Frey berlari keluar kelas di tengah pertengkaranku.

Beberapa anak cewek dan anak cowok lain memisahkan kami.
Tiba - tiba di pintu kelas, kulihat Frey dan,...Alex!

"Yella!" Alex membentak.

Yella yang sedang menendang kakiku mendadak menghentikan gerakannya dan menatap Alex dengan wajah pucat pasi.
Alex menghampiri Yella sambil melotot.

"Apa - apaan sih!" bentaknya.

"Gue..." Yella ingin menjawab.

Alex menghampiri aku kemudian mengajakku keluar dari kelas.
Frey ikut membawa tasku keluar. Kami turun dengan lift.
Di dalam lift, aku terdiam seribu bahasa.
Frey melihat pipiku yang nyeri dan sedikit kena cakaran dari kuku Yella yang panjang.

"Frey, gue pulang aja ya. Nanti nitip absen, boleh?" kataku.

Frey hanya mengangguk, sambil menatapku pergi keluar gerbang.
Aku berjalan ke halte bis.
Dari belakang ada langkah kaki mengikutiku.
Kubalikkan badan, tampak Alex berdiri di sana.

"Ngapain?" tanyaku ketus.

"Pulangnya gue anter aja yuk?" Alex menawarkan.

"Ogah ah, nanti cewek lo marah terus gampar gue lagi." Jawabku ketus.

"Gini ya, dia bukan cewek gue. Tapi maaf gara - gara gue lo jadi ditabok dan dimaki - maki."

Aku terdiam mendengar pernyataannya.
Rasa bingung menjalar di benakku.
Siapakah yang harus kupercaya?
Yella yang marah besar karena Alex mengantarku pulang kemarin, atau Alex yang membantah Yella bukan pacarnya.

Aku menghela nafas panjang. Kutundukkan kepala kemudian kembali memandang Alex.

"Untuk sekarang, gue bingung mesti percaya siapa. Yang pasti, gue lagi nggak mau cari penyakit. Biar amannya, buat hari ini kita jangan ngobrol lagi, ok?"

Alex terpaku tanda memahami maksud kata - kataku.
Tepat saat itu, bis yang menuju ke daerah rumahku datang.
Aku naik ke dalamnya, dan duduk.
Saat bis melaju, kulihat Alex masih berdiri di sana seakan mengantar kepergianku.

Hari yang buruk dan jauh dari harapanku.
Rasa nyeri di pipiku masih belum hilang.
Kurasa setelah ini aku semakin takut dekat dengan mahluk yang bernama cowok.
Mungkinkah aku jadi brutal seperti Yella bila ada cowok yang kusukai?
Aku tidak tahu

No comments:

Post a Comment

I'm looking forward to your comments and critics so I can make a better blog in the future. Thx a Lot. G.B.U.-Fei-