•●♥ About FeiwenZ ♥●•
Born at Jakarta in 1992.
A designer who loves music, games, and internet-friendly.
Great fan of Cinnamoroll cartoon character published by Sanrio.
Creative, fast learner, cheerful, hardworker, and friendly are 5 words to describe her.
Graduated in 2009 from Budi Mulia Senior High School.
Then, she took Design major in Tarumanagara University until present.
She finds experience by working freelance as a designer, photographer, and writer. She took part time jobs since High school as a Freelance Sales and Product Consultant.

Monday, July 25, 2011

20. I 'Heart' You!

Aku membuka mata dan memandang langit - langit kamarku.
Rasanya mata sulit sekali terbuka.
Kulirik handphone yang kuletakkan di sebelah bantal.
Layarnya menandakan ada sebuah sms disana.

Aku mengerutkan dahi dan mengambil posisi duduk.
Siapa yang mengirim sms di pagi buta seperti ini?

"Bulet...jgn lupa sarapan yah hr ni. Klo dah mao brangkat, sms. Gue jemput."

Aku mengucek - ngucek mataku seakan tidak percaya.
Apa yang kulihat di layar sms, bukan khayalan kan?
Kulirik nama pengirim sms tersebut.
Lexi...

Hmm...sepertinya aku masih bermimpi.
Kucubit tanganku sendiri.
Tapi rasanya sakit. Berarti ini bukan mimpi!
Tanpa sadar, aku tersenyum sangat lebarrrr sekali.

Ada angin apa gerangan Lexi tiba - tiba sms seperti ini?
Ini kan, seperti sms untuk pacar.
Dan baru kali ini sms Lexi begitu perhatiannya, bahkan sampai mau menjemput segala!

Dengan bersemangat, aku melenggang ke kamar mandi.
Aku mandi dengan air hangat dan keramas.
Wangi shampo membuatku segar dari kantuk yang belum hilang dari sejak bangun.

Aku memakai tshirt berwarna biru cerah dan celana jeans panjang berwarna hitam.
Aku melirik handphone yang menampilkan wallpaper fotoku sendiri.
Haruskah aku menerima tawarannya untuk menjemputku?
Tapi, rasanya agak aneh ke kampus saja harus dijemput.

Tapi, bila kupikir - pikir lagi, seandainya aku tetap berangkat sendiri pasti dia akan kesal.
Kesannya, aku tidak menghargai niat baiknya mengantarku.
Kuputuskan untuk menelponnya.
Terdengar nada sambung hanya sekali, sebelum dia mengangkat telponku.

"Udah mau berangkat?" Lexi langsung bertanya tanpa basa basi.

"Kok dijemput segala? Nggak usah, gue berangkat sendiri aja..."

"Hmm...sayangnya elo nggak punya pilihan laen. Karna elo udah nelpon, gue anggep udah siap. Tunggu di depan, gue jalan sekarang."

Telpon langsung diputus tanpa sempat kujawab
Kutarik nafas panjang.
Dengan sikapnya barusan, rasanya nyaris tidak percaya bahwa sampai kemarin dia masih mendiamkanku.
Mendadak anganku flash back kepada kejadian kemarin.

Kemarin kami kan...berciuman?
Aku menggelengkan kepala kuat - kuat.
Kenapa sejak kemarin pikiranku melayang kesana terus, sih?
Senang sih...tapi, kenapa kejadian itu terus yang menghantui pikiranku?

Tidak berapa lama kemudian, terdengar klakson motor.
Aku melongokkan kepala dari jendela.
Tampak motor Lexi sudah ada di bawah. Dia melambaikan tangan padaku.
Aku segera turun dan mengambil tas kuliahku.

"Kuliah jam berapa?" dia langsung bertanya saat aku muncul di gerbang.

"Jam....9."

"Wah, hampir telat dong? Sini cepetan naik."

Dia menyodorkan helm yang dibeli untukku, kemudian aku naik ke boncengan motornya.

"Pegangan. Gue mau rada ngebut biar elo nggak telat." katanya sambil menstarter motor

"Hah? Nggak usah ngebut. Gue nggak apa kok tel....aaaaaaaat!"

Mendadak dia menarik gas motornya kencang.
Aku yang kaget refleks memeluk pinggangnya agar tidak jatuh.
Motor melaju dengan kecepatan 60 kilometer per jam di jalanan yang lumayan ramai ini.

"Lex...pelanin." aku berkata terbata - bata dari balik punggungnya.

"Nggak usah kuatir, gue pernah ikut anak motor. Dikit lagi sampe."

Akhirnya aku yang pasrah hanya pegangan sekuat mungkin sambil mengucap segala macam doa dalam hati.
Sesampai di gerbang kampus, Lexi mengerem motornya.
Aku langsung turun dari motornya dan melepas helm yang menempel di kepalaku.

"Nah kan...masih kurang 5 menit dari jem 9. Belom telat..." Lexi berkata dengan bangga.

"Iya, telat sih engga. Tapi jantung gue udah geser 15 sentimeter dari posisinya.!" Aku protes. "Gila lo yah, kalo kecelakaan gimana? Mulai sekarang nggak ada lagi ngebut - ngebut."

Lexi mengacak - acak rambutku yang sudah berantakan sejak tadi.

"Iya, gue janji mulai sekarang nggak ngebut lagi deh. Makasi yah uda kuatir."

Aku jadi salah tingkah sendiri dan menyingkirkan tangannya dari kepalaku.

"Gue nggak kuatir kok. Udah, gue masuk dulu yah. Bye." kataku sambil pamitan dengan cepat.

Aku berlari menuju kelas yang terletak di lantai 5.
Sesampai di dalam kelas, aku langsung duduk di sebelah Frey.
Dia tampak agak kaget melihatku.

"Tumben nggak telat Va?"

Aku hanya tersenyum masam mendengar pernyataannya.
Pagi - pagi Frey sudah meledekku!

"Dianter Lexi, dia ngebut deh jadinya..."

"Ooohhhh....ada yang udah baikan rupanya??" Frey melirik dengan tatapan meledek. "Cieehh...berangkat kampus dijemput."

"Apaan sih..." aku mengelak sambil nyengir selebar mungkin.

Aku berdeham kemudian membisikkan sesuatu pada Frey.
Aku menceritakan secara singkat kejadian di rumah Lexi.
Cerita bagaimana dengan suksesnya aku gagal menyelinap, hingga kejadian sebelum aku pulang.

Frey hanya tercengang dan menatapku tanpa berkedip setelah aku menyelesaikan cerita.
Aku melambaikan tangan di depan matanya.

"Kenapa? Kok cengo?"

"Eva...elo percaya takdir?"

"Kenapa sih mendadak ngomongin gitu?" aku bingung.

"Sebaiknya elo mulai percaya. Astaga...gue ga nyangka temen gue yang satu ini, yang selama 18 taun ngejomblo, sampe gue ribet nyariin cowok buat elo kesana kemari, ternyata love story nya sweet banget..."

Aku mengerutkan dahi dan menatap Frey dengan pandangan aneh.
Frey mengedip - ngedipkan mata persis icon :maho: di kaskus.

"Nyariin cowok kesana kemari? Elo kira gue diobral? Hahaha..." aku hanya tertawa menanggapi pernyataan Frey.

Memang sih, selama ini aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan mengalami kisah seperti ini dengan Lexi.
Apalagi di awal pertemuan, aku sama sekali tidak menyukai sikapnya yang sombong dan sok cakep.
Sepertinya aku harus menarik kembali kata - kataku saat itu!

Sepanjang pelajaran, Frey tidak henti - hentinya memberikan 'tips membuat si dia jatuh hati'.
Dia malah menceritakan bagaimana awalnya Martin dan dia kenalan.
Sebagian besar adalah cerita yang sudah kuketahui detailnya.
Bagaimana tidak? Kami sudah berteman sejak SMP!

Saat kelas dibubarkan, aku menggandeng Frey keluar kelas.

"Karna hari ini ada berita bagus, gue traktir elo makan eskrim deh!" Frey tiba - tiba menawarkan.

"Bener ya? Asikk..."

"Tapi..." Frey melanjutkan. "Elo mesti ngajak Lexi."

"Hah? Ngapain ajak dia?" aku bingung.

"Double date lah! Gue udah sms Martin daritadi. Dia sekarang lagi di gerbang."

"Apanya ngedate? Gue nggak jadian sama Lexi, kali! Nggak boleh ya, bertiga doang?" aku memelas.

"Oooo...yaudah kalo bertiga batal traktirannya. Padahal gue mau beliin double choco chips....plus almond..." Frey memanas - manasi.

"Nggak ditraktir juga nggak apa. Bayar masing - masing aja." aku menjawab sambil menjulurkan lidah.

"Aduh...pleaseee ajak Lexi ya? Ya ya ya? Gue greget ngeliat elo berdua." gantian Frey yang memohon - mohon sambil menarik lenganku seperti anak kecil minta dibelikan permen.

"Iya, iya. Jangan ngerengek Diliatin orang." akhirnya aku mengalah.

Aku menelpon Lexi.
Dia mengangkat telpon itu beberapa saat kemudian.

"Lex....elo lagi ngapain?"

"Lagi di kelas." dia menjawab sambil berbisik. "Kenapa?"

"Oh, lagi kelas? Kalo gitu gue sms aja deh." aku langsung menutup telponnya.

Aku menepuk dahiku sendiri.
Kenapa tidak terpikir untuk sms sejak awal?
Bagaimana kalau dia dimarahi karena mengangkat telpon di kelas?
Hmm...kenapa aku harus kuatir juga kalau dia dimarahi? Hehehe...

"Lex, lo klas mpe jem brpa? Mkan es yok bareng Frey." kukirim sms singkat itu.

"15 mnit lg. Es dmna? Lo ksna dloan, tar gw nyusul." Lexi membalas smsnya.

"Master Ice Cream. Blakang Grand Square. C U there." aku menjawab sms tersebut.

Akhirnya Aku, Martin, dan Frey menuju Master Ice Cream, yang biasa disingkat MIC, naik mobil Martin.
Memang, sejak kuliah Martin diijinkan ayahnya untuk membawa mobil ke kampus.
Sesampainya kami di sana, Martin memarkir mobil dan kami bertiga masuk ke dalamnya.

MIC adalah kafe kecil yang 'kutemukan' dengan Frey sejak SMU.
Letaknya memang agak jauh dari jalan besar, tapi sudah terkenal sejak dulu karena eskrimnya yang khas.
Kenapa khas? Karena semua eskrim disini adalah buatan sendiri, bukan pabrikan.
Dan entah apa yang terdapa di resepnya, tapi meskipun diletakkan di gelas selama sejam, dia tidak mencair.

Aku memesan double choco chips dengan almond.
Frey memesan eskrim green tea, dan Martin memesan eskrim lemon tea.
Aku tertawa melihat pasangan serasi itu.
Mereka berdua memang sangat suka dengan teh.

"Tin...nanti Lexi mau dateng." Frey memberi tahu Martin.

"Oh ya? Bagus dong. Kita jadi double date." Martin menjawab.

"Hah? engga kok. Gue sama Lexi kan nggak jad....Aw!" tiba - tiba Frey mencubit pahaku.

Aku baru sadar, sejak awal kan Martin berpikir bahwa aku dan Lexi sudah jadian.
Bila mendadak kubilang aku tidak jadian dengan Lexi, bisa - bisa dia bingung.

"Maksudnya, gue sama Lexi nggak jadi nonton. Jadinya nggak ngedate. Cuma makan doang. Hehehe..." aku seolah meneruskan kalimatku yang terpotong.

Frey melirik lega ke arahku.
Memang, sifat pelupaku ini sangat menyebalkan.
Hampir saja aku melakukan hal bodoh.

Beberapa saat kemudian, pintu MIC terbuka.
Lexi masuk ke dalam.

"Lex..." aku memanggil dan kata - kataku terpotong saat kulihat Alex ikut masuk bersamanya.

"Kok dia ngajak Alex?" Frey bertanya sambil menyikutku.

"Mana gue tau." aku menjawab sambil setengah berbisik.

Lexi berjalan ke meja kami.

"Lho, udah pada pesen belom? Kok mejanya masih kosong?"

"Kita belom lama sampe." Aku menjelaskan. "Alex...kok ikutan?"

"Iya, katanya Lexi lagi seneng hari ini. Makanya dia mau traktir gue." Alex tersenyum sambil meledek Lexi.

"Seneng kenapa?" Frey gantian bertanya.

"Soalnya udah nggak berantem....hmpp...!" aku refleks bangun dan menutup mulut Alex.

Aku menarik lengan Alex dan 'menyeretnya' keluar MIC.

"Kenapa?" Alex terbengong - bengong.

"Hmm...gue lupa ngasih tau elo. Elo liat ga cowok yang duduk di sebelah Frey itu?"

Alex menanggapinya dengan anggukan kepala.
Sepertinya dia masih agak kaget aku mendadak menyeretnya keluar.

"Nah, apapun yang terjadi, di depan tu cowok, anggep aja gue sama Lexi jadian. Oke?"

"Hah? Kok begitu?" Alex gantian bingung.

"Aduh, ceritanya kepanjangan! Pokoknya nurut aja, oke? Entar kalo sempet, gue ceritain deh."

Akhirnya Alex setuju dan kami berdua kembali masuk ke dalam.
Frey bertanya dengan bahasa bibir, tapi aku hanya menggeleng.

"Udah, pada pesen es yuk?" aku mengajak.

Entah sejak kapan, posisi dudukku ada diantara Alex dan Lexi.
Lexi duduk di sebelah kananku, Alex di sebelah kiri.
Tepat di depan kami, Martin dan Frey hanya terdiam.

"Gue moccamint ice. Plus chocolate syrup." Alex menjawab.

Aku menoleh kepada Lexi dan baru hendak bertanya, ketika kepalanya mendekat ke arahku.
Tapi, pandangannya tajam ke arah menu yang terdapat di depanku.
Dari dekat, dia cakep sekali!
Duh, apa yang sedang kupikirkan?

Tapi, rambutnya yang berwarna hitam terlihat halus menutupi sebelah alisnya.
Dari samping, hidungnya terlihat mancung.
Kulitnya putih, sepertinya lebih putih daripada aku.
Matanya berwarna coklat agak muda. Semula kupikir warna matanya coklat gelap.

Mendadak Lexi menoleh ke arahku karena merasa diperhatikan.
Aku langsung membuang muka dan melihat ke arah lain.
Frey berdeham sambil melirik dengan tatapan meledek.
Aduh, ketahuan aku melakukan hal bodoh!

"Eva, udah pesen?" Lexi mendadak bertanya sambil merangkul bahuku.

Aku kaget sekali lengannya sudah berada di belakang leherku.

"Udah. Bentar yah, mau ke WC dulu." aku langsung bangkit berdiri.

Aku berjalan ke WC yang terdapat di belakang tempat cuci tangan.
Dalam WCnya terdapat cermin besar setinggi 2 meter.
Nuansa kayu dan batu menghiasi dinding yang diterangi lampu berwarna oranye.

Apa yang Lexi pikirkan tadi? Merangkulku seperti itu!
Tapi, waktu itu juga terjadi seperti ini.
Apakah dia sengaja begitu di depan Martin supaya meyakinkan?
Tapi, kalau Lexi memegang tanganku lagi seperti waktu itu, aku bisa semakin salah tingkah!
Ah...Lexi bodoh.

Kuputuskan untuk menguatkan hati dan keluar dari kamar mandi.
Ternyata semua eskrim pesanan kami sudah datang.
Lexi memesan banana bonanza, yaitu gabungan banana split dengan eskrim rasa cookies.
Aku duduk di tempatku semula dan memandang double choco chip-ku.

Wangi eskrim yang manis merebak diantara kami.

"Met makan." kata Frey saat menyendok suapan pertama.

"Ya, met makan." Martin menjawab.

Frey mengambil sendokan pertama dan menyodorkannya kepada Martin.
Martin seketika menyuapnya dengan wajah yang bahagia.
Gantian Martin mengambil sesendok eskrim lemon tea nya, dan menyuap Frey.
Seolah pemandangan adegan drama korea, kami bertiga hanya tercengang.

Lexi menyenggol sikutku, menyadarkanku dari lamunan.
Aku menoleh ke arahnya, dan mataku melebar melihat Lexi yang 'menodongkan' sendok berisi eskrim.

"Aaa..." Lexi bergumam, menirukan babysitter yang sedang menyuapi anak bayi.

"Eh, nggak usah. Gue makan ini aja." aku menunjuk eskrimku.

"Aaaa....." lagi - lagi Lexi mengulangi perbuatannya.

Aku memasang ekspresi 'mati' dan memelas tapi sepertinya Lexi tidak peduli.
Akhirnya aku maju dan menyambut suapannya.
Wajah Lexi tampak puas dan senang.
Bila dia berpikir aku akan melakukan hal yang sama seperti Martin balas menyuap Frey, tidak akan.

Suasana hening diantara kami berlima dan hanya terdengar dentangan sendok eskrim.
Sebenarnya aku agak tidak enak dengan Alex.
Dia benar - benar seperti 'nyamuk' diantara kami berempat.
Aku tidak mengerti kenapa Lexi mesti mengajaknya.

Setelah sejam makan eskrim diiringi obrolan tidak jelas yang ngelantur, kami memutuskan untuk pulang.
Frey memaksa untuk membayar tagihannya semua.
Setelah Martin dan Frey terlebih dulu pergi naik mobil, tinggallah aku, Lexi, dan Alex.

"Duh, sori banget. Gue kayaknya dateng di waktu yang salah." Alex langsung bergumam saat mobil mereka hilang dari pandangan.

"Ah, enggak kok. Tapi gue cuma kaget kok elo tiba - tiba ikut. Hehehe.." aku menjawab.

"Iya, dia tadi maksa mau ikut. Katanya minta traktir gara - gara kita jadian." Lexi menjelaskan.

"Jad...jadian?" aku terkejut.

Lexi mengangguk dengan tatapan tanpa dosa.

"Sejak kapan?" aku bertanya sekali lagi.

"Lah, sejak kemaren kita ciuu....hmmpp!!" lagi - lagi aku menutup mulut Lexi dengan tangan.

Sepertinya hari ini aku menutup mulut banyak orang secara paksa.

"Nggak usah disebut - sebut." aku mengancam Lexi. "Bikin tengsin aja."

Lexi tertawa puas melihatku salah tingkah.

"Udah ah, gue balik duluan" Alex pamitan.

Aku mengangguk dan melambaikan tangan kepadanya.
Gantian aku saling melirik dengan Lexi.

"Seneng, ngerjain gue hari ini?" aku bertanya dengan sinis.

"Kok ngambek sih, bulet?" Lexi mencubit kedua pipiku pelan.

"Kok...bisa berasumsi kalo' kita jadian? Elo aja nggak nembak gue..."

"Lho, emangnya perlu pake' nembak segala?"

Aku jadi salah tingkah sendiri karena kata - kataku.
Kok kesannya aku memaksa dia untuk 'nembak'?

"Nggak usah."

"Yaa...kalo emang buletku ini pengennya ditembak...."

"Udah, kagak usah." Aku memotong dengan cepat. "Lagian, ngapain manggil gue bulet - bulet. Emangnya gue onde onde?"

Dia tertawa dan mengacak - acak rambutku dengan gemas.
Melihat tawanya yang ceria, niatku untuk ngambek padanya hilang.
Lexi kemudian mengantarku pulang naik motornya.
Aku masuk ke dalam rumah dan berbaring di atas ranjang.

Kutatap nomor handphone Lexi yang ada di handphoneku.
Tunggu dulu, dengan peryataannya tadi..apakah kami sudah jadian?
Senyum mengembang di wajahku.
Aku mengambil secarik kertas yang terdapat di meja belajarku,

Kugoreskan sebuah kalimat pendek.

"I think I'm in Love... Lexi ,... I Heart You ... "

No comments:

Post a Comment

I'm looking forward to your comments and critics so I can make a better blog in the future. Thx a Lot. G.B.U.-Fei-