•●♥ About FeiwenZ ♥●•
Born at Jakarta in 1992.
A designer who loves music, games, and internet-friendly.
Great fan of Cinnamoroll cartoon character published by Sanrio.
Creative, fast learner, cheerful, hardworker, and friendly are 5 words to describe her.
Graduated in 2009 from Budi Mulia Senior High School.
Then, she took Design major in Tarumanagara University until present.
She finds experience by working freelance as a designer, photographer, and writer. She took part time jobs since High school as a Freelance Sales and Product Consultant.

Monday, July 25, 2011

27. Tentang Sebuah Keputusan

Dering hp membangunkanku dari tidur.
Aku mengangkat telpon dengan mata masih menutup.

"Hngg..?" aku bertanya tidak jelas.

"Kenapa pulang duluan tadi?"

Kukenali itu adalah suara Lexi.
Nadanya terdengar tidak seperti biasa.
Nada suaranya terdengar lemas.

Aku membuka sebelah mata dan memandang jam di dinding.
Ternyata sekarang jam 11 malam.
Begitu pulang dari taman hiburan, aku langsung terlelap tanpa berganti pakaian.
Mungkin badanku terlanjur lemas kena hujan.

"Boleh besok aja? Gue ngantuk." aku menjawab tanpa basa basi.

"Eva...please..."

"Dah ya...gue tutup." setelah itu kumatikan hpku.

Aku kembali menutup mata untuk tidur.
Meskipun aku bisa menahan kantuk ini, rasanya aku sedang tidak ingin bicara apapun dengan Lexi.
Aku ingin tidur dan melupakan kejadian tadi sore.
Malah jadi terbayang lagi Lexi bersama Lyn.
Huff....

========================================

"Va... bangun..."

Lagi - lagi aku terbangun. 
Sepertinya hari ini tidurku tidak tenang sekali.
Ternyata mbak Ti yang memanggilku.

"Udah siang nih, tadi papamu manggil buat sarapan di bawah."

"Papa dah pulang?" aku bertanya.

"Udah dari semalem. Sekarang lagi di meja makan nungguin kamu."

Mau tidak mau, aku bangkit dan menggosok gigi.
Kemudian turun untuk sarapan.
Papa tampak sedang makan dengan lahapnya sambil menonton TV.
Aku mengambil roti panggang dan telur, kemudian kutambahkan selembar daging asap.
Aku duduk di sebelah papa dan ikut menonton.

"Wah, tumben anak papa bangunnya siang." papa menoleh ke arahku.

"Iya, kemarin kehujanan jadi kurang enak badan."

Papa hanya mengangguk sambil lanjut makan.

"Nak, papa mau tanya. Kamu suka tinggal di kota ini?"

Aku menoleh dengan tatapan bingung.

"Suka dong. Kan udah dari kecil di sini. Kenapa emangnya pa?"

"Seandainya...kita harus pindah, gimana?"

Aku terkejut dan hanya membuka mata selebar - lebarnya.
Papa tidak melepaskan pandangannya dari layar TV, tapi seolah menunggu jawaban dariku.

"Pindah kemana?"

"Kemungkinan...luar negri. Singapura"

Seakan petir menyambar di siang hari.
Kemarin masih baik - baik saja, mengapa tiba - tiba papa ingin pindah keluar negri?

"Alasannya?" aku bertanya.

"Ingat gak waktu itu papa pernah disana seminggu untuk ngelatih trainee? Ternyata kantor cabang disana suka hasil kerja papa. Papa mau diangkat jadi vice director disana."

"Tapi, gimana kuliah Eva?" aku langsung memotong.

"Kamu kan baru tahun pertama, nak. Masih bisa ke kampus yang lebih bagus disana."

Aku terdiam dan tidak mampu berkomentar apapun.
Jika ditanya aku ingin atau tidak, jelas aku tidak setuju dengan keputusan sepihak ini.

"Eva nggak.."

"Papa cuma punya kamu." mendadak papa berkata dengan serius.

Papa mengecilkan suara televisi.

"Selama 18 tahun ini kita nggak pernah dekat. Tapi kalau papa jadi vice director disana, Papa nggak perlu keluar - keluar negri lagi. Banyak waktu luang. Papa bener - bener pingin ngulang segalanya dengan lebih baik disana..."

Aku menundukkan kepala dan mencerna kalimat papa.
Memang sih aku di dunia ini juga cuma punya papa sebagai keluarga.
Mama dan papa sama - sama anak tunggal, dan kakek nenek sudah meninggal.
Tapi jika harus pindah tiba - tiba seperti ini, aku tidak mampu memutuskan sekarang.

"Boleh Eva minta waktu untuk mikir, pa?"

Aku bergegas ke kamar dan duduk di atas ranjang.
Kupandangi setiap sudut kamar yang sudah kutempati selama ini.
Beberapa kali kamar ini direnovasi mengikuti usiaku.
Di kamar ini juga, aku pernah tertawa, menangis.

Rumah ini,...kota ini...segalanya yang terjadi disini mana mungkin bisa kutinggalkan begitu saja?
Teman - temanku, Frey...dan sekarang pun jujur saja, aku tidak rela meninggalkan Lexi.
Akhirnya aku baru pertama kali menemukan seseorang yang mampu membuka hatiku.

Segera kunyalakan handphone.
Aku harus memberitahu Frey soal ini.
Frey pasti akan lebih bisa membantuku membuat keputusan.

Aku menelpon Frey langsung.
Terdengar nada sambung, tapi tidak diangkat.
Setelah 3 kali mencoba dan tetap tidak ada jawaban.
Pikiranku kalut sekali, tidak ada tempat untuk bercerita.

Mendadak masuk 4 sms.
Semua smsnya dari Lexi.
Oh iya, aku lupa. Permasalahanku dengannya belum selesai.
Masalah? apakah ini bisa dikategorikan sebagai masalah?

"Eva, marah sama gue? Jawab plis."

Bukan marah. Tapi lebih tepatnya aku kecewa...

"Maafin gue. Tapi knapa lo pergi gitu aja tanpa denger penjelasan?"

Apa yang harus dijelaskan lagi? Bukankah orang bodoh pun sekali lihat akan tahu bagaimana keadaan kemarin?

"Eva, kita harus ketemu buat ngomongin ini."

Sayangnya, aku sedang tidak ingin bertemu dengan Lexi.

"....Gue bakal nunggu di depan pagar rumah lo sampe elo turun."

Aku terkejut setengah mati membaca sms yang terakhir.
Kulirik jam sms itu terkirim.
Jam 6 pagi?! Sekarang sudah jam setengah sebelas.

Aku langsung berlari kebawah dan ke depan pagar.
Dengan telanjang kaki, aku keluar pagar.
Tidak ada Lexi di sana.
Mungkin dia sudah terlalu lama menungguku sehingga pulang lagi.

Aku berbalik badan dan tertunduk lemas untuk masuk.
Saat kulirik sosok cowok yang duduk di dekat pintu pagarku.
Dia duduk di atas aspal dan bersender di dindin rumahku.
Dibawah pohon yang rindang, dia sepertinya tertidur.

Jantungku seperti berhenti karena tidak percaya.
Aku menghampiri dan melihatnya dari dekat.
Benar, tidak salah lagi ini Lexi.
Jadi, dari pagi - pagi buta dia menunggu di sini?

Aku duduk di sebelahnya dan bersender pada tembok.
Entah mengapa rasanya aku senang sekali.
Dia benar - benar menungguku keluar.
Rasa sedih dan kecewaku kepadanya lantas lenyap.

Yang ada hanya rasa haru dan senang.
Senyum mengembang selebar - lebarnya di wajahku.
Mungkin aku terlalu naif dan mudah memaafkan,
Tapi menungu 5 jam bukan hal yang mudah dilakukan oleh orang lain.

Aku duduk dan memperhatikannya yang sedang tidur.
Tapi dibawah matanya terdapat lingkaran hitam.
Sepertinya tidurnya pun tidak nyenyak.
Haruskah kubangunkan?

Kulirik motornya yang diparkir tepat di sebelahnya.
Diatas motor itu berserakan daun - daun yang gugur dari pohon.
Aku bangun untuk membersihkan daun di motor itu.
Sialnya, karena tidak hati - hati aku tersandung kaki Lexi yang panjang terjulur.

"Duh!" aku langsung berseru karena hampir jatuh.

Lexi langsung terbangun karena kaget.
Kemudian dia melihatku dengan mata yang masih mengantuk.

"Va? Akhirnya elo keluar." Dia bangkit berdiri.

"Sori. Gue juga baru liat smsnya. Tadi hpnya..."

Lexi mendadak maju dan memelukku.

"Eva, maaf..."

Aku yang terkejut langsung terdiam.
Lexi memelukku semakin erat.

"Iya, udah nggak apa." aku menjawab sambil mencoba melepaskan pelukannya.

"Gue udah denger dari Alex. Gara - gara gue, elo nangis..."

Nada suara Lexi terdengar getir.
Aku menepuk - nepuk punggungnya.

"Udah,gue nggak marah kok." lagi - lagi aku berusaha menenangkannya.

Lexi melepas pelukannya dan menatapku dalam - dalam.

"Elo boleh pukul gue." 

Dia mengambil tanganku dan ingin memukulkan ke badannya.
Aku langsung menarik tanganku dengan cepat.

"Apaan sih? Ngapain kayak gini. Udah, kita lupain aja masalah kemarin. Gue sama sekali nggak marah lagi kok."

Akhirnya Lexi menghentikan aksi anehnya.
Aku baru akan mengajaknya masuk ke dalam saat aku teringat bahwa papa sedang ada di dalam.
Bisa - bisa nanti papa heboh sendiri melihatku membawa cowok ke rumah.

"Kemarin, pulang bareng Alex?" Lexi membuka pembicaraan.

Aku mengangguk dan baru akan bertanya dengan siapa Lexi pulang.
Tapi daripada aku mendapat jawaban yang membuatku sedih, kuurungkan niatku bertanya.

"Elo, pulang gih." aku menyuruhnya pulang.

"Lho, katanya udah nggak marah?" Lexi tampak bingung.

"Iya, tapi di dalem ada bokap. Sekarang bukan waktu yang pas buat ketemu dulu."

Lexi mengangguk dengan patuh kemudian naik ke atas motornya.
Sebelum motornya melaju pergi, dia melambaikan tangan.
Sebenarnya jauh di lubuk hatiku, masih ada hal yang mengganjal.
Sebenarnya tadi ingin kutanyakan kepadanya.

Seandainya aku dan Lyn sama - sama kesulitan, yang mana akan dia tolong duluan?
Seandainya kami tercebur, apakah dia akan menolongku atau Lyn lebih dahulu?
Aku memutuskan untuk tidak memikirkan hal tersebut.

Saat aku hendak kembali masuk ke dalam, ternyata aku berpapasan dengan papa.
Papa sudah rapi dengan pakaian lengkapnya dan hendak mengeluarkan mobil.

"Pa, mau kemana?" aku bertanya.

"Ada yang mesti diurus soal pindah kerja. Papa harus ke kantor."

"Hah? Bukannya Eva belum bilang pasti mau ikut?" 

"Maaf, nak. Tapi minggu depan kita udah pindah. Papa harus secepatnya ngasih keputusan ke kantor pusat. Dan keputusan papa, udah bulat... Papa harap kamu mampu menghargai keputusan ini demi kebaikan kita."

Aku menundukkan kepala dan langsung masuk ke dalam secepat mungkin.
Aku masuk ke dalam kamar dan mengurung diriku dibawah selimut.
Entah aku yang egois atau papa yang egois.
Tapi aku benar - benar tidak bisa memutuskan apapun dalam keadaan buru - buru seperti ini.

Kulirik foto mama yang digantung di dinding kamarku.
Apakah mama akan ikut papa juga jika beliau masih ada?
Pasti mama akan membelaku, ya kan?
Entahlah...rasanya pusing memikirkannya.

No comments:

Post a Comment

I'm looking forward to your comments and critics so I can make a better blog in the future. Thx a Lot. G.B.U.-Fei-