•●♥ About FeiwenZ ♥●•
Born at Jakarta in 1992.
A designer who loves music, games, and internet-friendly.
Great fan of Cinnamoroll cartoon character published by Sanrio.
Creative, fast learner, cheerful, hardworker, and friendly are 5 words to describe her.
Graduated in 2009 from Budi Mulia Senior High School.
Then, she took Design major in Tarumanagara University until present.
She finds experience by working freelance as a designer, photographer, and writer. She took part time jobs since High school as a Freelance Sales and Product Consultant.

Monday, July 25, 2011

10. The Dance

"Hmm...jalan Remina...blok 4...yang mana ya?" aku bingung sendiri.

Lexi menyuruhku untuk ke rumahnya hari ini.
Tadi pagi dia mengirimkanku sms alamat lengkapnya.
Dan sekarang, aku sedang kebingungan tersesat di daerah yang tidak kukenali ini.
Kuhampiri seorang bapak - bapak yang sedang duduk di tikungan jalan

"Pak, permisi. Blok 4 yang mana ya?"

"Ini jalan Remina dik. Mau cari rumah siapa?"

"Rumah bapak Joseph. Bapak tau ?"

"Ohh... itu rumahnya yang di ujung jalan sebelah sana. Nanti ada rumah yang tinggi pagarnya, nomor 91. Keliatan kok."

Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada bapak itu.
Kubalikkan badan dan menyusuri jalan yang lumayan lebar itu.
Daerah perumahan ini memang tertata sangat rapi. Sepanjang jalan terdapat semak - semak dan setiap beberapa meter terdapat pohon tinggi.

Sangat sejuk bila tinggal di daerah sini.
Perumahanku juga tidak jelek sebenarnya.
Hanya saja, perumahan Remina ini sangat hijau.
Mengingatkanku pada perumahan di serial Beverly Hills.

Di ujung jalan terdapat sebuah rumah dengan pagar tinggi berwarna hitam.
Plat perak bernomor 91 terdapat di pinggir tembok batanya.
Pastilah ini rumah yang dimaksud.

Kukeluarkan handphone dari kantong dan kutelpon Lexi.
Tidak sampai sepuluh detik, langsung diangkat olehnya.

"Halo? Siapa ni?" dia bertanya.

"Eva. Bukannya nomor gue udah ada di handphone lo?" aku bertanya dengan bingung.

"Shelva?? Itu nama lo? Kok bagus amat. Ngga cocok sama...."

"Gue depan rumah lo. Kelamaan ngomong sayang pulsa gue." aku memotong dengan cepat kemudian menutup telponnya.

Belum tengah hari, sudah sekail dia meledekku.
Aku mengelus dada menghadapi orang iseng macam dia.
Semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi selama aku berada di rumahnya.

Sekitar 5 menit kemudian, pagar kecil yang berada di samping terbuka.
Lexi menjulurkan kepalanya dan mengisyaratkanku untuk masuk.
Aku melangkahkan kaki ke dalam.
Dan aku langsung melotot melihat pemandangan yang kulihat.

Pagar hitam yang solid dari luar menutup pemandangan yang terdapat di dalam.
Sebuah taman yang sangat luas dan ditumbuhi oleh berbagai macam tumbuhan.
Ada bunga matahari di pinggir lahan yang berumput hijau segar.
Bunga sepatu, lily, dan poppins juga bertebaran di bagian pinggir.

"Keren banget..." aku bergumam sendiri ketika memasuki pekarangannya.

Jalan setapak dari batu menyebrangi tepi lapangan rumput berukuran 5 meter persegi itu.

"Katanya elo suka bunga. Tuh ada banyak." Lexi menunjuk pekarangannya.

Dia hari ini terlihat santai dengan celana panjang training dan kaos berwarna putih bergambar smiley.
Rambutnya pun tidak ditata seperti biasa.
Jika begini, dia terlihat seperti cowok normal.
Hmm....jadi apakah dia yang biasa tidak normal?

"Masuk yok." dia mengajakku menyebrangi lapangan rumput itu.

Memasuki double door dari kayu, ternyata bagian dalamnya tidak seperti di sinetron - sinetron rumah orang kaya.
Isinya yang didominasi kayu dan lantai karpet berwarna merah marun membuat rumahnya terkesan hangat.
Pemisah ruangan berwarna abu - abu tua dan terbuat dari kaca memantulkan cahaya dari jendela sebrang.
Terlihat seorang wanita dengan rambut disanggul sedang duduk di ruang tamu, menonton televisi.

"Permisi..." aku berkata seraya menundukkan kepala.

Wanita itu membalas dengan senyuman.
Lexi mengajakku naik ke lantai atas melewati tangga semi spiral dari ubin.
Melewati pintu tebal, ternyata terdapat ruangan di lantai atas rumahnya.
Ruangannya berlantai kayu panel dan sekelilingnya dilapisi cermin. Seperti berada di studio balet saja.

"Elo punya studio di sini?" Aku bertanya. "Tadi yang di bawah siapa?"

"Itu kakaknya bokap. Dia hidup sendiri sejak dulu. Habis ditinggal suaminya meninggal, dia ngajar balet anak kecil di sini." Lexi menjelaskan.

"Wah...berarti elo juga bisa balet dong?" aku bertanya dengan antusias.

"Ya nggak bisa lah. Masa' cowok nari gemulai kayak gitu. Mainan gue mah di sana."

Dia menunjuk sebuah ruangan yang terdapat kaca di pintunya.
Kuintip dari celah kaca, ternyata itu adalah mini gym.

"Wah...ada mini gym juga. Jangan - jangan di rumah elo juga ada bioskop?"

"Kenapa kalo ada? Mau nonton gratis?" dia meledek.

Aku hanya melipat tangan dan berjalan kembali ke tengah ruangan studio itu.

"Jadi...kita mau ngapain di sini?"

"Gue ngajarin elo dansa, lah."

"Ngajarin gue dansa? Bukannya gue cuma temenin elo jadi pajangan di pesta nanti?"

"Ya nggak lah. Minimal dansa setengah lagu. Ngapain kalo gue bawa elo cuma jadi pajangan doang?"

Aku memutar bola mata kemudian menatap lurus ke cermin besar yang berderet di sana.

"Apa yang elo tau tentang dansa?" dia mewawancaraiku.

"Nggak tau sama sekali." aku menjawab asal.

"Sama sekali?" dia terkejut.

"Yang gue tau, lagunya slow. Terus gue hadep - hadepan sama elo diiringin lagu yang bikin ngantuk, injek - injekan kaki, abis itu selesai."

Lexi tertawa terbahak - bahak.

"Khayalan lo payah banget. Masa' injekan kaki. Emangnya main injek laba - laba?"

Dia mengeluarkan remote tipis dari saku belakangnya kemudian memencet tombol play.
Terdengar lagu dengan alunan biola dan piano.
Lexi berjalan menghampiriku 3 langkah, kemudian membungkukkan badan dalam - dalam.
Aku membalas bungkukannya setengah.

"Salah... harusnya begini...." dia memperagakan bungkukan dengan tulang punggung tegap dan lutut yang tetap lurus.

Kemudian dia menghampiriku selangkah lagi dan meletakkan tangan di pinggangku.

"Ngapain lo megang gue?!" aku langsung mundur dan menghindar.

"Gimana caranya dansa kalo gue nggak megang elo? Masa' jauh - jauhan?"

"Tapi nggak usah pegang - pegang."

"Terus mesti gimana? Pake sarung tangan? Berdiri jauh - jauhan?" dia bertanya dengan sebal.

"Pokoknya ya jaga jarak. Kalo nggak, gue gak mau nemenin elo." aku mengancam.

"Ah cape deh! Susa amat diajarinnya. Gue mau ke bawah dulu, minum!" dia menjawab dengan kesal sambil ngeloyor pergi.

"Katanya ngajarin gue. Gimana sih? Malah gue ditinggal?"  aku menggerutu.

Dengan sebal, aku duduk di lantai.
Memang sih, yang namanya latihan harus praktek.
Tapi baru kali ini aku berdiri sedekat itu sambil dipegang pinggangnya.
Rasanya geli sekali. Dan sejujurnya, aku sangat grogi.

Sekitar sepuluh menit aku menunggu, dia tidak kembali juga.
Apakah dia marah karena aku susah diatur?
Uh...! Sudah kuduga pasti akan ribut dengannya.

Pintu studio terbuka dan kulihat dari cermin ada yang masuk.
Ternyata yang masuk adalah tantenya Lexi.
Aku langsung bangkit berdiri dan berbalik menghadapnya.

"Tante mau pake ruangannya?" aku bertanya.

"Nggak kok. Nggak apa. Santai saja." dia mempersilakanku untuk rileks. "Tadi...kalian lagi latihan?"

Aku mengangguk pelan.
Memang sih, belum bisa disebut latihan.
Toh belum sampai 5 menit kami sudah ribut lagi.
Lebih tepatnya, aku membuatnya sebal.
Tapi, bukan sepenuhnya salahku juga. Dia yang orangnya tidak sabaran, kok!

"Keberatan kalo tante bertanya sama kamu?"

"Sama sekali nggak. Mau tanya apa tante?" aku menggeleng.

"Lexi itu...orangnya nyusahin kamu ya?"

Aku terdiam mendengar pertanyaannya.
Dibilang menyusahkan sih juga nggak.
Sejauh ini dia tidak pernah membuatku repot.
Hanya ribut kecil - kecilan, salah paham, dan sebal.

"Dia itu...dari kecil memang susah baik sama orang. Dia orangnya kaku. Tante baru ketemu dia pas SMP. Dan memang dia sudah begitu dari dulu."

Aku mengangguk - angguk menanggapi ceritanya.

"Tapi baru kali ini dia bawa teman perempuan ke rumah, lho."

"Masa? Bukannya dia tipe yang sering pacaran dan sering gonta ganti cewek?" aku langsung bertanya spontan. "Maaf...bukan maksud saya menjelek - jelekkan dia..."

Aku  langsung menggigit bibirku sendiri.
Bodohnya aku malah menjelek - jelekkan keponakannya di depan tante.
Pasti tantenya langsung berpikir negatif kepadaku.

"Kamu...mirip Rena..." tantenya berkata.

"He? Maksudnya?" aku kebingungan.

"Ibunya Lexi. Dulu, waktu Rena masih muda mirip sekali dengan kamu. Sorot mata yang ceria dan antusias, cara bicara yang bersemangat, suka blak - blakan tapi tetap sopan."

Tantenya tersenyum dengan lembut.
Seperti menatap jauh ke suatu kenangan masa lalu.
Suasana jadi hening diantara kami.

"Ya...kita nggak mau membuat Lexi kecewa, kan? Sini biar tante aja yang ajarin kamu."

Tantenya maju ke hadapanku kemudian menyunggingkan senyum.

"Tapi...Lexinya gimana?"

Jawaban yang kuterima hanya tawa kecil.
Beberapa saat kemudian, tantenya menyalakan lagu yang sama dengan tadi, kemudian membungkukkan badan.
Kubalas bungkukan badannya dengan cara yang diajarkan Lexi barusan.

"Nice bow." dia memuji.

Ia maju ke depanku kemudian meletakkan tangan di atas pinggangku.

"Kalo di sini nggak geli, kan?"

Aku menyetujui pernyataannya.
Kemudian tantenya menyuruhku meletakkan tangan di punggungnya.
Kami berlatih langkah demi langkah.
Beberapa kali aku menginjak kaki tantenya tanpa sengaja,
Tapi tantenya hanya tersenyum.

Gerakan yang lembut namun tegas.
Seperti itulah dia menggambarkan dansa.
Bagaimana mengatur nafas di saat yang pas,
Mengkoordinasi 2 pasang kaki untuk saling melangkah,
Bagaimana merasakan dengan tepat kemana pasangan kita akan melangkah.

Ya...menurutku dansa itu sangat romantis.
Seperti tanpa kata kita berusaha menyampaikan kelembutan.
Lewat tatapan dan memegang punggung dengan lembut,
Seolah menyangga pasangan yang ada di hadapan kita.

Hari ini, aku mempelajari hal baru
Lebih dari sekedar teknik berdansa,
Aku mempelajari bahwa ada hal yang menarik dari sekedar menggerakkan tubuh
Yaitu menyelaraskan hati.

No comments:

Post a Comment

I'm looking forward to your comments and critics so I can make a better blog in the future. Thx a Lot. G.B.U.-Fei-