•●♥ About FeiwenZ ♥●•
Born at Jakarta in 1992.
A designer who loves music, games, and internet-friendly.
Great fan of Cinnamoroll cartoon character published by Sanrio.
Creative, fast learner, cheerful, hardworker, and friendly are 5 words to describe her.
Graduated in 2009 from Budi Mulia Senior High School.
Then, she took Design major in Tarumanagara University until present.
She finds experience by working freelance as a designer, photographer, and writer. She took part time jobs since High school as a Freelance Sales and Product Consultant.

Monday, July 25, 2011

16. At Midnight, The Magic Ends

Dengan panik, aku menekan nomor telpon Frey.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya diangkat olehnya.

"Kenapa, Va?"

"Frey...! S.O.S. I need your help. Kesini sekarang please?" aku memohon.

"He? Emangnya kenapa?"

"Gue nggak bisa dandan..." suaraku memelas.

Frey kemudian menertawakanku sebelum akhirnya setuju untuk kemari dan membantuku.
Ya...jam sudah menunjukkan pukul 5 dan aku belum siap sama sekali untuk pergi.
Mbak Ti sedari tadi kelabakan melihatku berusaha untuk dandan.
Dengan peralatan kosmetik yang kubeli atas saran penjual kosmetik tanpa tahu cara memakainya, kucoba untuk berdandan.

Hasilnya? Nihil.
Aku tampak pucat seperti hantu, mataku hitam seperti panda.
Dan yang lebih parahnya lagi, aku baru tahu bahwa bakat melukis tidak bisa dipraktekkan pada saat merias.
Wajahku benar - benar seabstrak lukisan Picasso.
Saat Frey masuk ke kamarku membawa seperangkat alat makeup, dia terlihat bagaikan malaikat penyelamat.

"Wow...Eva nyoba dandan?" Frey tampak takjub melihat alat makeup yang tercecer di ranjangku.

"Bolehkah skip ngeledek dan langsung to the point : Makeup?"

"Okey, okey." Frey mengalah dan mengeluarkan isi tasnya.

Sepertinya peralatan tempur yang dibawanya cukup lengkap.
Ada hair curler, atau bahasa gaulnya 'catokan rambut', eye shadow, blush on, bedak, foundation, mascara, eyeliner, bahkan Frey membawa hair clip dan bulu mata palsu!

"Wait...gue nggak mau pake bulu mata palsu." aku menolak mentah - mentah.

"Kenapa? Biar keliatan panjang..."

"Bulu mata asli gue udah cukup."

Frey mengikuti keinginanku dan meriasku sebagus mungkin.
Dia mengoleskan foundation ke wajahku agar tampak sewarna.
Kemudian mengoleskan bedak hingga ke leher.
Dia mengoleskan eye shadow bernuansa biru-hijau ke kelopak mataku.

Di ujung mata diberi aksen hitam dengan eyeliner untuk membentuk siluet mata kucing.
Alisku dirapikan dan dipertegas dengan pensil.
Dia mengoleskan maskara sebanyak 2 lapis ke bulu mataku kemudian menjepitnya.
Rasanya agak sakit saat bulu mataku dijepit.

Blush on berwarna peach dan digradasi dengan warna pink memunculkan warna pada wajahku.
lipgloss berwarna pink muda memberi kesan fresh.
Dia memasangkan hairclip sebanyak 3 buah di rambutku.
Panjangnya sepinggang.

Rasanya seperti ada sesuatu yang menggelitik pinggangku.
Seperti inikah rasanya memiliki rambut panjang?
Dia kemudian menggulung rambut asliku yang panjangnya sepunggung, bersama dengan hairclip.

Agar terkesan menyatu, dia membubuhkan styling mousse sebelumnya.
Sentuhan terakhir, Frey memasangkan jepit rambut berbentuk bintang di arah yang berlawanan dengan poniku.

"Twin stars for good luck." dia berkata padaku. "Elo cantik banget Va..."

Frey terkesima mengagumi hasil karyanya.
Aku mengenakan heels putih yang dibelikan Lexi kemarin, kemudian memandangi diriku sendiri di kaca.
Benar - benar bagaikan itik yang disihir menjadi angsa.
Seumur hidup, tidak pernah kulihat sosok diriku yang seperti ini.

Aku juga tidak menyangka bahwa pakaian 'cewek' tidak membuatku terlihat aneh.
Kuamati satu persatu mulai dari ujung rambut hingga ke kaki.
Tidak ada satu bagianpun yang tidak berubah.
Memang tangan Frey bagaikan penyihir.

"Thank you darling..." aku berterima kasih. "Kalo nggak ada elo, gue bisa mati kutu."

"Makanya, belajar dandan dong." Frey meledekku. "Tapi, gue tebak pasti Lexi shock ngeliat elo malem ini. Dia jemput jem berapa?"

"Katanya sih setengah 7. Sekarang udah jam 6 lewat. Atau gue telpon aja ya?"

Aku mengeluarkan handphone dari tas tangan, kemudian menelpon Lexi.

"Lex...gue udah siap. Elo mau jemput jam berapa?"  aku bertanya.

"Gue udah depan rumah elo dari tadi." dia menjawab. "Turun aja sekarang."

Frey yang sudah selesai membereskan peralatan makeupnya, ikut turun bersamaku.

"Kalo jalan, jangan diseret tumitnya. Setengah jinjit kayak melayang." Frey berpesan. "Sebisa mungkin jangan sampe heelsnya bunyi."

Aku mengangguk dan berjalan sesuai instruksinya.
Memang terbukti, jauh lebih mudah berjalan dengan cara demikian.
Aku keluar dari gerbang dan menoleh ke sepanjang jalan.
Tidak ada motor Lexi dimanapun.

Mendadak mobil yang berada di sebrang jalan mengedipkan lampunya.
Aku tidak tahu Lexi bisa menyetir mobil.
Kuhampiri mobil tersebut dan masuk ke bangku samping pengemudi.

Saat aku membuka pintu, Lexi sempat terpaku beberapa saat.
Setelah itu barulah dia menjalankan mobilnya dan kami menuju ke tempat pesta.

"Elo...keren banget hari ini." Lexi memujiku. "Eh, maksudnya bagus banget."

"Berkat Frey nih. Gue dipermak abis - abisan."

Kami tertawa bersama.
Harus kuakui, Lexi tampil sangat keren malam ini.
Kemeja berwarna biru tua dengan 1 kancing terbuka di bagian atas.
Dia mengenakan jas berwarna hitam lengan panjang.
Rambutnya diberi styling wax semakin menyempurnakan penampilannya.

Mataku tidak bisa lepas dari cara Lexi menyetir.
Di dalam mobil berwarna silver ini, seakan dia tampak seperti orang lain.

"Gue baru tau elo bisa nyetir." kataku memecahkan keheningan.

"Oh,...gue udah 21 taun, kali. Pasti bisa nyetir lah."

"Gue udah 18 taun aja nggak bisa naik kendaraan apapun."

"Jangan samain kayak elo dong." dia tertawa.

Aku memanyunkan bibir.
Tidak berniat untuk membalas ledekannya hari ini.
Bukankah seharusnya hari ini jadi hari yang menyenangkan?

Kami sampai di tempat pesta.
Ternyata kampus kami menyewa sebuah ballroom hanya untuk acara ulang tahunnya?
Harusnya anggaran yang demikian besar, digunakan untuk membetulkan WC kampus saja!

Mobil Lexi diserahkan kepada petugas Valet.
Dia menyodorkan sikunya untuk kugandeng.
Kami berjalan menaiki tangga yang berlapis karpet merah kemudian masuk menuju ballroom.
Saat pintu ballroom terbuka, tampaklah ruangan besar dengan dekorasi yang didominasi warna merah marun.

Tirai yang disematkan ke dinding dan meja - meja berlapiskan kain berwarna merah tersebar di seluruh ruangan.
Musik klasik yang mengalun dari piano di panggung utama seakan tidak digubris oleh seluruh orang yang hadir.
Memang, acara harusnya masih dimulai sekitar 15 menit lagi.

Aku menggandeng lengan Lexi dan ruangan ini dipenuhi orang - orang penting.
Senat mahasiswa, rektor, para ketua jurusan, dan pembimbing akademis saling mengobrol.
Tidak kurang dari 400 orang hadir di ruangan besar ini.

"Lex...gue grogi." kataku kepadanya.

"Nggak usah grogi. Semua pada sibuk sendiri kok. Mau ngemil gak?"

"Ih, kok malah nawarin cemilan sih? Jangankan makan. Jalan aja gue gemeteran."

Saat kami berdua menyusuri tengah ruangan, ternyata acara dansanya akan dimulai.
Lexi menghentikan langkah dan mengisyaratkan padaku.

"This is it..." dia menghela nafas. "Hasil latihan seminggu ini."

Aku mengangguk dan memperhatikan sekitar.
Banyak mahasiswa lain, dan beberapa orang yang sering kulihat di kampus masing - masing menuntun pasangannya ke bagian tengah ballroom.
Para tamu yang tidak ikut mengisi acara dansa, atau yang tidak datang bersama pasangannya, berkumpul di tepi seolah membentuk pagar.

Mendadak aku grogi sekali!
Apakah penampilanku aneh malam ini?
Apakah orang - orang yang melihatku berdiri dengan Lexi... serasi?
Duh, terlalu banyak hal yang berkecamuk di otakku.

"Kenapa ekspresinya gitu?

"Nggak. Cuma ekstra grogi." aku menjawab dengan ekspresi yang tidak berubah.

"Santai aja, you look great."

Entah mengapa aku merasa lebih tenang sekarang.
Beberapa menit kemudian, setelah semuanya mengambil posisi dengan jarak, musik mulai mengalun.
Pianis yang duduk di panggung dan pemain biola yang berdiri di sebelahnya mulai memainkan musik.
Salah satu karya Ludwig Van Beethoven, yaitu Moonlight Sonata.

Dentingan piano yang terdengar manis dicampur dengan gesekan biola, membawa aura yang tenang.
Lexi membungkukkan badan di hadapanku, seperti orang lain yang berdansa di sekitarku.
Aku membalas bungkukannya dengan lembut.
Tapi entah mengapa, tatapan mataku tidak bisa lepas dari kedua matanya.

"Ya...bagus. Perfect eye contact. Feel me..." dia berkata dengan suara sepelan mungkin.

Great...atmosfir yang hampir muncul kemudian hilang karena sepotong kalimatnya yang tidak penting itu.

"Jangan ngomong apapun. Ngerusak konsen." aku menjawab juga dengan suara sepelan mungkin.

Lexi tertawa kecil kemudian meletakkan tangannya di punggungku.

"Mestinya gue yang nggak konsen..." dia berkata sambil melangkahkan kakinya ke samping. "Elo cantik banget malem ini."

Deg! Tatapan itu...
Oh no...konsentrasiku buyar. Mesti melangkah kemana aku setelah ini?
Kanan? atau ke depan duluan?

"Aw!" Lexi memekik tanpa suara.

Dengan sukses, aku menginjak sepatunya.

"Sori." aku menjawab dengan bahasa bibir.

Dia mengangguk dan melanjutkan dansanya.
Ughh... kenapa setiap kalimat yang dilantunkannya malam ini membuyarkan konsentrasiku?
Fokus...aku mesti fokus...
Cukup perhatiin ujung atas rambutnya aja.
Kalau aku menatap matanya, bisa - bisa dia menggumamkan kalimat aneh lagi.
 
Sejauh ini, semua berjalan lancar.
Hampir 5 menit, itu berarti sudah setengah lagu berjalan.
Dan kabar baiknya, aku hanya menginjak kaki Lexi beberapa kali.
Ehmm...maksudku, itu suatu kemajuan kan?

"Eva...udah setengah lagu nih."

"Mau udahan?" aku bertanya.

"Ya. Itu maksud gue."

Aku mengangguk kemudian berputar sekali.
Setelah itu, aku mundur dan menunduk sekali sebagai tanda penutup.
Lexi memajang lengannya untuk menuntunku berjalan ke tepi.

"Tadi, itungannya sukses gak ya?" aku bertanya.

"Hmm...seems so. Elo sukses remukin kaki gue."

Aku mencibir dan bergaya sok ngambek.

"Nah kan, ngambek lagi. Udah cakep jangan ngambek lagi dong."

"Nah, itu tuh yang gue sebel. Jangan ngegombal di saat kayak gini. Apalagi waktu dansa tadi. Bikin gue tambah grogi."

Lexi menanggapinya dengan tawa kecil kemudian dia menuntunku ke arah para bapak - bapak.

"Sini, gue kenalin ke bokap."

"Hah? Bokap?" aku terkejut.

Tapi Lexi keburu menuntunku mendekati ayahnya.
Beliau hanya kulihat sebelumnya di majalah kampus.
Namanya tertulis di daftar rektor universitas.
Dialah Pak Joseph.

"Pa..." Lexi memanggil Pak Joseph yang sedang mengobrol.

Pak Joseph langsung menoleh dan meletakkan gelas yang dipegangnya.

"Nak...Papa lihat kamu tadi di lantai dansa. Dia ini..." Pak Joseph menoleh padaku.

"Saya Shelva, pak." Kataku sambil setengah menundukkan kepala. "Jurusan desain di kampus ini."

Beliau meng-oo kan panjang dan tersenyum.
Tatapannya sangat dalam dan garis kerutan di ujung matanya memberikan kesan orang yang ramah.

"Semester berapa kamu, nak?" pak Joseph bertanya padaku.

"Saya baru masuk pak. Masih semester satu."

Pak Joseph mengangguk - angguk dan berpaling kepada Lexi.

"Jaga dia, Lex. Kenalkan juga pada adikmu. Adikmu harus tau calon kakak iparnya."

"Iya pa...permisi..." Lexi membawaku menjauh dari sana.

Saat kami sudah agak jauh dari sana, aku membuka suara.

"Calon kakak ipar?" aku bertanya dengan terkejut. "Kayak gue bakal merid sama elo aja."

"Kalo memang harus..."

Aku terdiam menatap pandangan Lexi yang lurus dan serius.
Tapi 3 detik kemudian Lexi tertawa.

"Bercanda lah, dodol. Emang bokap sering guyon. Mungkin lagi ngobrol asik tadi sama temennya. Jadi ngomongnya ngasal."

Aku mengangguk - angguk dan menerima statemen dari Lexi.
Walau begitu, tetap saja....memikirkan perkenalan kami yang sangat singkat dan aku harus menikah dengan Lexi?
Itu tidak akan mungkin terjadi.
Kalaupun iya, pasti jadi Siti Nurbaya abad 21.

Kami berdua menaiki tangga besar yang terdapat di dekat pintu masuk.
Ternyata tangga itu mengarah ke sebuah balkon.
Balkon itu menghadap ke arah taman belakang.
Angin bertiup tidak terlalu kencang malam ini.
Hanya sepoi - sepoi sejuk namun cukup untuk menerbangkan rok chiffon yang kukenakan.

"Di sini suasananya lebih enak kan?" Lexi bertanya.

Aku mengangguk dan memandangi taman yang berada di bawah.
Terdapat patung - patung besar berbentuk penari balet, dan semak belukar yang dipangkas membentuk hati yang berjajar.

"Kampus kita gila banget ya." aku bergumam. "Bisa ngadain acara di tempat mewah begini. Liat aja tamannya indah banget"

"Ya...gue tau pasti elo suka. Makanya gue ajak elo ke sini."

"Maksudnya?" aku bertanya.

"Eva..." Lexi menatap mataku.

"Kenapa?"

Lexi melangkah maju dan mendekat padaku.

"Ada sesuatu yang mau gue kasih tau elo."

Lexi menyentuh ujung rambutku.
Dia memegang lenganku dan menatap mataku semakin lekat.
Ingin rasanya kukatakan padanya untuk berhenti menatapku dengan cara seperti itu.
Rasanya seolah menusuk ke dalam pikiranku.
Aku seperti terhipnotis.

Lexi maju selangkah lagi.
Kini aku bisa mencium jelas wangi parfum lembutnya.
Kejadiannya persis kemarin.
Bibirnya mendarat di keningku.

Tidak ada sepatah kata apapun yang keluar dari mulutnya.
Tapi, bisa kurasakan tangannya yang memegang lenganku, entah mengapa gemetar.
Samar - samar, kudengar nafasnya yang berat.

"Shelva..." Lexi berkata pelan kepadaku.

Dan sekarang, dia memanggil namaku tepat di telinga.
Lexi...tolong bilang saja apa yang ingin kau katakan.
Rasanya darahku akan berhenti mengalir jika kau teruskan seperti ini.
Lexi mengangkat daguku dengan tangan kirinya.

"Lexi...?" aku gantian memanggil namanya.

"Ssst..." Lexi menyentuh bibirku dengan jarinya.

Wajahnya semakin mendekat padaku.
30 senti,...25 senti,...20 senti,...
Aku menutup mataku dalam - dalam.
Sepertinya inilah yang dimaksudnya kemarin.
Hari inilah aku akan menerima...first kiss?

Hidungnya menyentuh hidungku.
Nafasku semakin tertahan.
Apakah ini mimpi?
Mengapa rasanya bagian belakang leherku dingin?

"KRINGGG...!!!" suara nyaring yang cempreng terdengar dari tas tangan yang kupegang.

Aku langsung membuka mata dan Lexi juga membuka matanya.
Jarak kami hanya terpisah oleh hidung.

Handphoneku bergetar tanpa rasa kasihan.
Aku langsung mundur ke belakang dan mengambilnya dari dalam tas tangan.
Di layarnya terpampang nama Frey.

"Oh, great... " aku bergumam sambil tertunduk lemas. "Frey yang nelpon."

Lexi berdeham dan membetulkan kerah kemejanya.

"Gue...ambil minum dulu ya." Lexi berbalik dan kembali masuk ke dalam ballroom.

Aku mengangkat telpon yang dengan sukses merusak momen barusan.

"Hai cantik." suara Frey dari seberang terdengar ceria. "Anything happened?"

"Hampir. Sebelom elo nelpon." aku menjawab dengan nada agak kesal.

Kesal? kenapa aku merasa kesal?

"Ups...serius? Maafin gue... " nadanya terdengar menyesal.

"Nggak, gue nggak marah ato apapun kok. Cuma..."

Kalimatku terhenti. Apa yang harus kuceritakan pada Frey?
Bahwa aku cuma hampir dicium Lexi?
Wajahku memerah mengingat kejadian tadi.

"Gue ceritain komplitnya nanti sehabis pesta." kataku sambil menutup telpon.

Aku tidak berani bercerita apapun dulu kepada Frey.
Kurasa, ada baiknya kuatur dulu perasaanku yang meluap - luap seperti ini.
Rasanya masih berdebar - debar karena barusan.

Aku menoleh ke taman dan melihat sosok yang tidak asing.

"Alex?" aku bergumam sendirian.

Alex tampak sedang duduk dan memandangi salah satu semak yang ada di sana.

"Alex!" aku memanggilnya dengan suara nyaring.

Sepertinya dia tidak mendegar suaraku.

"Alex!" aku melambaikan tasku kepadanya.

Sialnya, tas tanganku terjatuh tepat di atas semak - semak.
Aku menepuk dahiku sendiri. Mengapa harus kulambaikan tasku?
Aku segera turun ke taman dan mencari tempatku menjatuhkan tas.
Segera, kutemukan tasku tergeletak di atas tanaman.
Aku menghampirinya dan membersihkan daun yang menempel di tas berwarna putih itu.

"Ah, rese. Pake' jatoh segala." Aku begumam sendirian.

"Eva?" suara Alex memanggilku.

"Eh, elo di sini." aku menjawab. "Tadi gue manggil elo, makanya tas gue jatoh dari atas."

Aku menunjuk balkon tempatku tadi berdiri.
Alex tertawa, menunjukkan senyumnya yang khas.

"Elo beda banget malem ini." nada suara Alex berubah. "Cantik banget."

"Hehehe...makasih." aku tertawa menanggapi pujiannya.

"Tadi, gue liat elo dansa sama Lexi. Serasi banget." Alex mengacungkan jempolnya. "Mumpung lagunya masih kedengeran, keberatan nggak kalo dansa sama gue sebentar?"

Aku agak terkejut mendengar permintaannya.
Tapi, kurasa tidak ada salahnya menemani dia berdansa sebentar.
Aku mengangguk dan melangkah maju ke depannya.
Dia langsung memegang punggungku dan mengajakku berdansa.

"Nggak pake permulaan?" aku bertanya dengan bingung.

"Hmm...langsung ke main course aja." dia menjawab sambil tertawa kecil.

Alex melangkahkan kakinya beriringan.
Entah mengapa, langkah kakinya selalu luput dari injakan sepatuku.
Bahkan, aku sama sekali tidak merasa canggung berdansa dengannya.

"So...kenapa elo di sini sendirian? Di mana pasangan elo malem ini?" aku bertanya

"Nggak ada. Gue sendirian. Gue nggak terlalu suka pesta."

"Trus, kenapa dateng?"

"Formalitas. Lebih asik di taman, kencan sama semak - semak."

Aku tertawa menanggapi candaannya.
Entah mengapa, cara Alex bercanda selalu berhasil membuatku tertawa.
Rasanya, seperti berdansa dengan Lexi, pada versi yang lebih ceria.
Lebih kekanak - kanakan.

"Nggak heran Lexi suka sama elo..." tiba - tiba Alex berkata.

"Sori?"

"Ya, sekarang gue tau alesannya Lexi suka sama elo. Elo bukan cuma unik, tapi juga mempesona."

"Apaan sih, elo jadi ikutan kayak Lexi. Bikin orang grogi terus..." aku berkata sambil manyun.

"Elo grogi pas bareng Lexi?"

Aku mengangguk dengan mantap.

"Wah...kalo Lexi tau, dia pasti seneng banget dengernya."

Aku mengkerutkan dahi dan mencoba mencerna kalimat Alex.
Kenapa Lexi senang kalau aku grogi?

"Eva!" terdengar suara dari atas.

Saat aku menoleh ke atas, tampak Lexi sedang menatapku.
Ada yang berbeda dari tatapannya.
Aku segera mundur dan menjauh dari Alex.
Lexi hilang dari pandangan, kemudian muncul beberapa saat kemudian dari dalam ballroom.

Lexi melirikku dengan emosi.
Ya, bisa kulihat dengan jelas tatapannya yang penuh marah.

"Seneng, dansanya?" Lexi bertanya dengan sinis sambil melirik aku yang berdiri di sebelah Alex.

"Apa maksudnya?" aku bertanya dengan nada yang lebih tinggi.

"Nggak usah gue jelasin. Sesuai janji, hari ini Deal's Off!"

Lexi berbalik dan menjauh dari tempatku berdiri dengan Alex.
Kakiku secara refleks mengejarnya.

"Apa - apaan sih Lex? Nggak dengerin penjelasan apapun tau - tau marah." aku menarik lengan kemejanya.

"Nggak usah dijelasin gue udah tau. Emang elo lebih suka tipe kayak Alex, kan? Ceria, penyabar, nggak ngeselin terus kayak gue. Elo tetep tahan bareng gue, cuma karna muka kita berdua sama."

Aku menggigit bibir karena emosi.

"Jangan narik kesimpulan seenak elo. "

"Bukan kesimpulan tapi fakta. Udahlah Va, elo bebas deket sama Alex yang sesungguhnya sekarang. Nggak terikat janji apapun lagi sama gue."

Lexi melepaskan tanganku dari kemejanya kemudian berjalan meninggalkan aku yang berdiri sendiri.
Dengan bodohnya, tidak sepatah kata apapun yang kuucapkan untuk membela diri.
Tenggorokanku sudah tercekat.
Dadaku rasanya sakit sekali.

Detik itu juga aku baru menyadari.

"Yang gue suka itu...elo Lex...." aku berbisik perlahan dengan air mata yang mengalir di pipiku.

Bagaikan Cinderella yang sihirnya usai di tengah malam,
Aku kembali menjadi upik abu.

No comments:

Post a Comment

I'm looking forward to your comments and critics so I can make a better blog in the future. Thx a Lot. G.B.U.-Fei-