•●♥ About FeiwenZ ♥●•
Born at Jakarta in 1992.
A designer who loves music, games, and internet-friendly.
Great fan of Cinnamoroll cartoon character published by Sanrio.
Creative, fast learner, cheerful, hardworker, and friendly are 5 words to describe her.
Graduated in 2009 from Budi Mulia Senior High School.
Then, she took Design major in Tarumanagara University until present.
She finds experience by working freelance as a designer, photographer, and writer. She took part time jobs since High school as a Freelance Sales and Product Consultant.

Monday, July 25, 2011

15. A Gift

"Hari ini udah hari ke 6." Lexi berkata padaku di telpon. "Kita mesti siapin baju buat besok."

"Nggak boleh pake dress biasa aja? Nanti gue pinjem Frey." aku menjawab

"Nggak. Mesti cocok bajunya sama gue. Sekarang gue jemput ke rumah elo."

Setelah telpon ditutup, aku duduk di beranda sambil memandangi kendaraan yang lewat di depan rumahku.
Tidak terasa besok adalah pesta dansa yang sudah dinanti - nanti.
Walaupun kemarin batal latihan, tapi kurasa sudah cukup hanya untuk menari sebuah lagu.
Lagipula, aku hanya sebagai penghias pasangan Lexi saja, kan?

Tidak berapa lama kemudian, Lexi tiba di depan rumahku.
Aku turun dan membuka pintu pagar.

"Kita harus beli baju?" sekali lagi aku bertanya padanya.

"Iya. Kalo nggak, gimana pestanya?"

"Gue lagi nggak ada duit..." aku bergumam. "Bokap belom ngasih uang jajan bulan ini."

"Ya ampun, masalah duit nggak usah dipusingin. Gue yang beliin lah."

Aku mencibir.
Dasar anak orang kaya, terlalu menggampangkan urusan uang.
Akhirnya aku naik ke boncengan motornya.
Tidak lupa mengenakan helm berwarna biru yang dibelikannya untukku.

Kami menyusuri jalan ke daerah kota.
Di sana terdapat mall terbesar di kota.
Setelah memarkir motornya di basement, kami masuk ke dalam mallnya.
Berbeda dari tempat hangout, mall ini hanya diisi butik dan toko perhiasan ternama.

Lexi mengajakku masuk ke butik yang memiliki dekorasi cantik.
Nuansa ungu memenuhi tokonya.
Di depan tokonya terdapat banner bertuliskan ‘Viola Boutique’.
Ternyata di dalam butik ini tidak hanya menjual pakaian, tapi lebih banyak aksesoris unik.

Seorang wanita cantik menghampiri kami.
Rambutnya ikal berwarna kemerahan.
Mengenakan Jegging yang dipadu sepatu boot dengan heels sekitar 7 cm
Penampilannya terlihat kontras dengan atmosfir antik yang ditampilkan dekorasi butik ini.

"Lexieeeee, kok lama datengnya?" wanita itu langsung menghampiri Lexi. "Dress yang kamu pesen, hampir jamuran nungguin kamu dateng. Pemilik butiknya juga hampir lumutan..."

Suara wanita itu terdengar manja.

"Cin, kenalin ini Eva." Lexi menarik tanganku dan menempatkanku di sebelahnya.

Aku terkejut dan segera menundukkan kepala kepada wanita itu.

"Wah, met kenal. Saya Cinderella." Katanya sambil mengulurkan tangan.

Cinderella?!
Aku hampir tertawa terbahak - bahak dalam hati.
Bagaimana mungkin di dunia ini ada orang yang bernama Cinderella, persis seperti kartun Disney itu.
Sambil setengah menahan tawa, aku menyambut tangannya yang terjulur.

"Baru kali ini Lexi ngajak cewek lain, selain Lyn lho."

"Ih, apaan sih Cin." Lexi menepis kata - kata itu dengan panik.

Lyn...? Siapa itu?
Mungkinkah pacar Lexi?
Tapi kemarin kata cewek - cewek di kampus, Lexi sedang jomblo.
Aku memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu dan menuju ke pojok butik untuk melihat pakaian yang berderet di gantungan.

"Ada baju yang lo suka?" terdengar suara dari belakangku bertanya dengan lembut.

"Bukannya kata Cinderella, elo udah pesen?" aku bertanya.

"Iya, tapi siapa tau ada yang elo suka dan lebih cocok dari pilihan gue."

"Lexie...ini pemilik dress nya?" Cinderella bertanya dari counter. "Sini say, kita fitting di belakang."

Aku mengikuti Cinderella menuju ruang fitting yang ditutup oleh tirai berwarna ungu gelap.

"Wah...pas banget model yang dipilih Lexi. Kalian udah lama jadian?" Tiba - tiba Cinderella bertanya padaku.

"Ehmm...nggak juga." aku menjawab terbata - bata.

Dia membuka tali pengikat dress berbahan chiffon berwarna biru laut dengan atasan model sabrina.
Berhiaskan pita besar berwarna putih di bagian dada, membuat dress tersebut terlihat semakin manis.
Aksen gelombang melambai ketika gaun bergerak, persis ombak laut.

Kulepas pakaianku dan dibantu oleh Cinderella, memakai dress tersebut.
Ajaibnya, ukuran dress itu sangat pas untukku.

"Wah...pas banget bajunya. Kita ke depan yuk, ngasih liat Lexi."

Aku mengangguk dan menyusul Cinderella keluar ruang ganti.
Tampak Lexi sedang berdiri memunggungiku dan Cinderella.

"Ehm...!" aku berdeham.

Dia berbalik dan melihatku selama beberapa detik.
Dia terdiam.
Mulutnya seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak kunjung keluar kalimat apapun.

"Jelek ya, sampe nggak bisa ngomong? Yaudah deh, gue ganti lagi."

"Eh, enggak. Jangan dulu."Lexi maju dan menahanku. "Bagus banget kok malahan. Cocok sama lo."

"Iya Va, bagus banget dress itu, pas sama kamu. Suka?" Cinderella menimpalkan dengan mimik gembira.

Aku mengangguk kemudian berjalan kembali menuju kamar ganti.
Kupandangi diriku sendiri di cermin.
Memang sih, minidress ini terlihat sangat manis.
Baru pertama kali aku memakai dress seperti ini ke pesta.
Sebelumnya, aku hanya memakai celana panjang dan kemeja.
Itupun bila dipaksa papa ikut menghadiri undangan kerabatnya.

Apakah aku memang separah itu sebagai cewek?
Sama sekali tidak pernah berdandan.
Kadang aku mengasihani diriku sendiri.
Bagaikan cowok yang terjebak di tubuh cewek.

Setelah berganti pakaian kembali, aku keluar dari ruang ganti.
Kuserahkan dress tersebut ke Cinderella untuk dibungkus.

"Kok bisa pas belinya?" aku bertanya. "Tau ukuran gue dari Frey ya?"

"Nggak. Waktu latihan dansa kan, gue meluk....maksudnya megang punggung elo. Ketauan lingkar badan elo dari sana."

Aku hanya meng-oo kan panjang.
Tapi...tunggu dulu. Jika dia tahu lingkar punggung kan tetap saja belum tentu lingkar dadanya pas?
Aku melirik dengan tatapan curiga kepada Lexi.
Jangan - jangan dia sudah sangat berpengalaman hingga bisa tahu ukuran - ukuran cewek hanya dengan sekali lihat atau pegang?

Lexi membalas tatapanku dengan bingung.

"Kenapa? Kok ngeliatinnya gitu?"

Aku hanya mengangkat bahu dan membuang muka.
Kurasa tidak penting membahas hal seperti itu kepadanya.
Salah salah nanti jadi bumerang balik untukku.
Seperti kasus di perpustakaan tempo hari.

Setelah mengambil dress yang sudah dibungkus rapi oleh Cinderella, kami meninggalkan butik itu.
Cinderella melambaikan tangan pada kami dengan ramah.
Akupun membalas lambaian tangannya.

"Dia orangnya ceria ya." aku bergumam.

"Keluarga bokap emang rata - rata ramah ke orang." Lexi menjawab. "Itu anaknya sepupunya bokap. Saudara jauh."

"Oo, gue pikir..."

"Pikir apa lagi? Gebetan gue? Pacar gue? Eva...eva...jangan terlalu jealousan jadi cewek." Lexi meledekku.

"Ge Er! Siapa juga yang jealous sama elo?" aku membantah. "Tapi kan' siapa tau aja emang tipe lo yang lebih tua."

Aku melirik ekspresi Lexi yang hanya tertawa menimpali statemenku.
Tapi, Lexi berkata pernah jadian sekali waktu SMU.
Kira - kira seperti apa ya mantan pacarnya?
Apakah lebih muda? Atau lebih tua?
Duh...kok aku jadi penasaran begini ingin tahu ya?

"Kita cari sepatu yuk." Lexi mengajakku masuk ke toko sepatu.

Aku menepis rasa penasaranku dan mengikutinya masuk ke dalam toko.
Sampai di sana, pramuniaganya menyuruhku duduk di sofa empuk yang ada di sana.
Lexi memberikan petunjuk pada pramuniaga tersebut untuk membawakan beberapa contoh sepatu.

"Ukurannya berapa?" pramuniaga itu bertanya padaku.

"38." aku menjawab.

"Lho, bukannya kaki elo 42? Gede gitu..." lagi - lagi Lexi meledek.

Aku hanya mencibir dan mengalihkan pandangan ke rak kaca di sana.
Pada display, terdapat puluhan pasang sepatu yang berderet.
Ada boots, heels, pump shoes, sampai sendal yang aku yakin pasti dijual dengan harga yang tidak rasional.
Jika bukan karena Lexi, mungkin seumur hidup aku tidak akan masuk ke toko sepatu seperti ini.

Beberapa saat kemudian, di hadapanku sudah berjejer beberapa model high heels.
Ada yang model pump, stiletto, dan beberapa jenis lainnya yang aneh.
Aku tertarik pada stiletto berwarna hitam dengan aksen tali dan bentuk kupu - kupu di samping.

"Itu...cocok nggak ya?" aku bertanya.

"Coba aja." Lexi yang duduk di sebelahku menyarankan.

Aku memasukkan kakiku ke sepatu tersebut.
Astaga! Tinggi sekali sepatu ini! mungkin...9...bahkan 12 senti?
Saat aku mencoba berdiri, telapak kakiku terasa bergoyang.
Aku membayangkan harus berdansa dengan posisi kaki berjinjit seperti ini.
Kurasa tidak akan bisa.

Langsung kulepas lagi sepatu itu.
Padahal modelnya sangat manis...
Aku menyayangkan mengapa tidak kubiasakan berjalan dengan sepatu tinggi.
Jika sudah terbiasa, pastilah aku tidak akan sempoyongan seperti tadi.

"Itu...yang putih susu bagus." Lexi menunjuk sepatu yang berwarna putih dengan tali bening seperti sepatu kaca.

Kucoba memasukkan kakiku ke dalamnya.
Pas sekali, karena memang sesuai dengan ukuranku.

"Itu nggak terlalu tinggi. Palingan cuma 5 senti. Cocok buat elo yang nggak pernah pake heels." Lexi menjelaskan padaku.

"Tau darimana gue nggak pernah pake heels?"

"Justru aneh kalo nggak tau. Berdiri aja sempoyongan tadi." Lexi menjawab sambil tertawa.

Uhh...untung saja kami berada di tempat ramai.
Jika dia menghinaku seperti itu di rumahnya saat latihan,
Pastilah sudah kuinjak - injak kakinya dengan high heels!

No comments:

Post a Comment

I'm looking forward to your comments and critics so I can make a better blog in the future. Thx a Lot. G.B.U.-Fei-