•●♥ About FeiwenZ ♥●•
Born at Jakarta in 1992.
A designer who loves music, games, and internet-friendly.
Great fan of Cinnamoroll cartoon character published by Sanrio.
Creative, fast learner, cheerful, hardworker, and friendly are 5 words to describe her.
Graduated in 2009 from Budi Mulia Senior High School.
Then, she took Design major in Tarumanagara University until present.
She finds experience by working freelance as a designer, photographer, and writer. She took part time jobs since High school as a Freelance Sales and Product Consultant.

Tuesday, August 2, 2011

Epilogue - I won't say I'm in Love. But I'll say "You're My Life"

Aku meneguk coklat hangat yang kupegang dalam gelas kertas.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah 9, tapi Lexi tidak juga muncul.
Langit sudah sangat gelap.
Harusnya pesawat Lexi sudah tiba sejak jam 7, karena perjalanan dari sana hanya 2 jam.

Kuputar - putar handphone dan sekali lagi kuteguk coklat yang sedang kupegang.
Setiap kali kucoba menelpon, tidak tersambung.
Uhh...kesabaranku sudah habis!
Dengan tidak sabar, kumatikan handphoneku.
Aku berbalik untuk kembali ke apartemen.

"Aduh!" mendadak aku menabrak seorang cewek.

"I'm sorry." aku langsung meminta maaf dengan segera.

Sialnya, coklatku tepat mengenai dress panjangnya yang berwarna putih itu.

"It's fine..." cewek itu menjawab. "Oh my God..."

Sepertinya cewek itu juga terkejut saat melihat bajunya sudah 'bercorak' coklat.

"I'm very sorry." aku merasa tidak enak hati.

"No, I was looking for someone; so I didn't pay attention. It's my fault." Dia tidak menyalahkanku, malah bilang bahwa dia sedang mencari seseorang jadi tidak konsentrasi pada sekitar.

Kuambil tisu dari tas, kemudian kuulurkan padanya.

"Here, i hope this helps." kataku sambil mengulurkan tisu. "You were looking for...your parents?" Aku bertanya apakah dia sedang mencari orangtuanya.

Sepertinya dia sebaya denganku, hanya saja dia lebih pendek.
Mungkin setahun atau dua tahun dibawahku.

"No...I was looking for my husband. He said he was looking for a toilet, but i lost him."

Aku tercengang mendengar pernyataannya.
Dia mencari suaminya?! Cewek se-muda ini sudah menikah?
Dilihat dari wajahnya, dia bahkan baru berumur 20 tahunan.
Atau pengelihatanku yang salah?

"Do you need any help? We can find him together. Do you know his phone number?" Aku menawarkan bantuan padanya.

Mungkin aku bisa mencarinya lewat nomor handphone yang digunakan oleh suaminya.

"No...we just got here. We haven't bought the local number." Dia tampak putus asa karena belum sempat membeli nomor perdana.

"Then, Where were you from?" aku menanyakan asalnya.

"Indonesia."

Aku terdiam untuk beberapa saat, kemudian tertawa terbahak - bahak.

"Ooh, kamu dari Indonesia juga? Ngapain saya ngomong pake bahasa Inggris kalo gitu?"

Cewek itu tercengang kemudian tertawa juga.

"Ooh, bukan orang Singapur ya? Inggrisnya lancar banget, kirain orang sini..."

Setelah menyadari kebodohan yang kami lakukan, kami duduk di bangku panjang.
Noda coklat di pakaian cewek itu mulai memudar setelah diseka dengan tisu.

"O iya, belom kenalan...." cewek itu mengulurkan tangan. "Saya Rei."

Aku menjabat tangannya.

"Shelva. Panggil aja Eva."

Dia mengangguk kemudian celingukan lagi ke sekeliling.

"Tadi pisah sama...suaminya dimana?" aku bertanya dengan canggung. "Emang beneran suaminya?"

Aku agak tidak percaya melihat sosok cewek semuda ini sudah bersuami.
Dia sepertinya menyadari apa yang sedang kupikirkan kemudian memperlihatkan jari manis kanannya.

"Iya, beneran udah nikah. Tapi baru tahun kemarin." dia menjawab. "Saya juga masih kuliah."

"Kuliah di Indo?"

Rei mengangguk pelan.
Hmm...mungkin memang sekarang sedang trend di Indonesia menikah di usia muda?
Seingatku, saat 2 tahun lalu kesana, para wanitanya masih menikah di usia 25 tahun.
Kebanyakan memilih untuk jadi wanita karir.

"Kamu sendiri...udah bercincin." Rei menunjuk cincin di jariku.

"Oh...ini. Hehehe..." aku tertawa sendiri. "Dikasih pacar. Bukan cincin nikah."

Rei meng-oo lebar kemudian lanjut celingukan lagi.
Tiba - tiba, dia bangkit berdiri dan berlari kecil ke arah seorang cowok.
Pasti itu suaminya.
Sepertinya aku mengenal wajah mereka entah di suatu tempat.

Rei kemudian membawa suaminya dan mengenalkannya padaku.


"Eva, ini Rudolf. Suami saya."

Rudolf mengulurkan tangan untuk bersalaman denganku.
Kusambut sambil tersenyum, saat aku teringat sesuatu.

"Ooh, Rudolf yang artis itu??!" aku bertanya dengan spontan.

Rei tertawa melihatku yang terkejut.
Kemudian dia mengangguk dengan ceria.
Aku beberapa kali menonton siaran Indonesia lewat TV kabel.
Di acara musik, ada sebuah grup band yang sedang tenar di Indonesia.
Tapi, aku sama sekali tidak menyangka bahwa itu adalah grup band-nya Rudolf.

"Udah ada tempat nginap belum? Ke apartemen saya dulu aja, istirahat plus ganti pakaian." aku menawarkan.

Mereka menerimanya dengan senang hati, karena memang belum ada rencana apapun disini.
Dengan taksi, kami menuju apartemenku.
Apartemen kami terdapat di Bencoolen Street, dekat NAFA, kampusku yang sekarang.
NAFA adalah kampus khusus untuk belajar desain dan seni.

Setelah naik ke lantai 12, kami masuk ke apartemenku.
Rudolf dan Rei meletakkan tasnya di dekat pintu, dan melepaskan sepatunya disana.

"Ada kamarku di sana." aku menunjuk kamarku. "Dressnya kotor, ganti dulu gih."

Rei mengambil baju dari kopernya, kemudian menuju kamarku.
Aku mengambil 3 buah mug dan mengisi teh manis ke dalamnya.
Kuletakkan di atas meja di ruang tamu.

"Ke Singapur,...jalan - jalan?" aku bertanya pada Rudolf yang sedang memperhatikan interior ruang tamuku.

"Enggak. Kalo saya, lagi tour keliling untuk promo band. Rei nemenin doang."

"Perform nya besok?" aku bertanya lagi.

"Nggak. Performnya tanggal 16 nanti. Masih 3 hari."

"Lho, kok datangnya sekarang?"

"Hmm.. sebenernya besok ultah Rei. Pingin ngasih kejutan buat dia disini nanti tengah malem. Hehehe..."

Huahh...manis sekali Rudolf!
Pacarnya ulang tahun saja, sampai dikasih surprise di luar negri.
Ah, tapi aku sebal sekali membayangkan Lexi pasti sedang tertidur dan ketinggalan pesawat untuk kemari.
Tapi karena takut kumarahi, makanya dia mematikan handphonenya.
Atau mungkin dia sedang kelabakan berlari - lari mencari tiket penerbangan tercepat untuk sampai kemari.
Entahlah, aku tidak ingin memikirkannya.

"Wah...bajunya lucu." mendadak Rudolf berkata pada Rei yang baru saja muncul. "Baju baru?"

Rei mengangguk sambil nyengir.
Sweater panjang berwarna pink berbahan rajutan itu tampak pas untukna.
Apalagi legging hitam yang dipakainya, membuat kakinya terlihat kontras dengan atasan.
Andai aku cocok mengenakan baju feminim seperti itu, pasti sudah kubeli sejak dulu.

"Sebagai ucapan terima kasih, saya traktir makan malam yuk?" Rei menawarkan.

"Ah, nggak apa..."

"Hehehe...kebiasaan orang Indonesia yang nggak berubah. Pasti segan - segan. Udah, itung - itung ngerayain ketemu saudara di negara lain?"

Menerima ajakan yang antusias itu, aku hanya bisa pasrah dan menganggukkan kepala.
Aku sedang memakai sendal ketika terdengar suara petir menyambar.
Mendadak, diluar hujan deras sekali.
Dengan tatapan putus asa, aku menoleh kepada pasangan itu.

Mereka berdua juga saling melempar pandangan dan mengangkat bahu.
Dalam hati, aku tertawa geli.
Watak mereka kalau diperhatikan, sangat mirip sekali.
Mungkin harus seperti itu ya, kalau jodoh?
Berbeda sekali denganku dan Lexi...dia yang sok keren kontras denganku yang...agak jaim.

Akhirnya, kami bertiga memutuskan untuk masak dan makan di apartemenku saja.
Mereka berdua tidak keberatan dengan masakan homemade.
Setelah makan, baru kutemani mereka mencari hotel untuk bermalam di sekitar sini.

"Wah...bakat masak nih. Tuh, kamu contoh dia...masa' udah jadi istri nggak bisa masak?" Rudolf meledek Rei.

Rei langsung cemberut dan memukul lengan Rudolf pelan.

"Bener ya, bilang aku nggak bisa masak? Mulai sekarang makan nasi pake garam aja tiap hari. Aku mogok masak."

Adegan berikutnya, Rudolf sibuk membujuk Rei yang ngambek.
Tapi detik kemudian diiringi canda dan tawa dari mereka.
Jujur, aku sedikit iri dengan pemandangan yang kulihat ini.

Memang, setelah 2 tahun aku disini, komunikasi dengan Lexi jadi sedikit berkurang.
Bahkan, karena Lexi sedang skripsi dia sering menghilang untuk 2 sampai 3 hari.
Aku menyenderkan punggungku di balkon.
Angin berhembus dengan kencang di lantai 12 ini.
Langit malam yang cerah penuh dengan bintang, mengingatkanku pada hari keberangkatanku ke Singapura.
Saat itu, Lexi 'menghadiahiku' dengan ratusan bintang dari kunang - kunang.
Betapa manisnya kalau kuingat.

Oh, dan sekotak CD yang dibawa Lexi saat itu ternyata berisi kumpulan lagu dan puisi darinya.
Untuk setahun pertama, kenangan - kenangan itu cukup untuk menjadi 'obat kangen' bagi kami.
Tapi sekarang, sudah menjelang tahun kedua.

"Hayo...mikirin apa?" Rei membuyarkan lamunanku.

"Eh...nggak. Kalian udah mau cari hotel?"

"Nggak apa. Kita nggak buru - buru kok." Rei menjawab. "Lagi mikirin seseorang?"

Aku baru akan menyangkal, saat kusadari bahwa aku sedang butuh tempat curhat.
Aku mengangguk pelan dan menatap kepada kejauhan lagi.

"Rei...dulu waktu pacaran, pernah nggak' ngerasa ragu sama perasaan Rudolf? Misalnya, takut dia direbut orang lain...atau takut rasa sayangnya hilang?"

Rei berdeham kemudian ikut bersandar di balkon.

"Pernah...waktu tahun - tahun awal. Mantannya Rudolf muncul." Rei bercerita sedikit.

Hmm...sepertinya kasusnya agak mirip denganku.
Memang, yang jadi awal masalah selalu mantan ya.
Hahaha...

"Tapi setelah itu, kadang berantem juga. Kebanyakan, karena nggak terbuka."

"Nggak terbuka gimana?" aku bertanya dengan bingung.

"Hal paling baik diantara 2 orang, adalah kejujuran. Dalam hal sekecil apapun, mesti terus terang. Kalo' kesel ya bilang kesel. Kalo' senang ya bilang senang. Dengan begitu, aku dan Rudolf nggak perlu cape' nebak - nebak pikiran satu sama lain. Toh belom tentu tebakannya bener, kan?"

Aku mencerna kalimat Rei dalam - dalam.
Memang sih, selama ini kebiasaanku yang paling jelek adalah tidak berterus terang.
Setiap kali Lexi menghilang kabar, aku hanya berusaha 'cuek' dengan keabsenan dia.
Lama - lama aku jadi terbiasa untuk pura - pura cuek pada setiap perilakunya yang tidak berkenan di hatiku.

"Tapi, masa' semuanya diomongin? Seandainya Rudolf nggak bisa nerima gimana? Seandainya dianggap kekanak - kanakan gimana?" aku bertanya.

"Justru kalo saya diem - dieman dan pura - pura cuek, itu lebih kekanakan." Rei menjawab langsung.

Aku mengerutkan dahi dan menampakkan wajah bingung.

"Karakter anak - anak, saat nggak suka pada sesuatu dia langsung nangis atau menghindari hal itu. Sementara orang dewasa, dia bakal protes dan menghadapi hal - hal yang nggak dia sukai."

Kalimat itu seakan mengena sekali padaku.
Jujur saja, setiap ada masalah dengan Lexi, aku memilih untuk menghindar dan melupakannya.
Ingatanku flashback pada saat ribut dengan Lexi di pantai 2 tahun lalu, aku langsung menghilang tanpa kabar.
Ketika hampir pindah ke Singapur juga, aku hampir pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Lexi.

Sepertinya hampir di semua masalah, aku terlalu mudah menyerah sebelum menyelesaikannya hingga tuntas.
Kalimat barusan seakan menyadarkanku,
Aku langsung menyalakan handphone untuk menelpon Lexi lagi.
Siapa tahu kali ini handphone nya sudah aktif.

Benar saja, handphonenya terdengar nada sambung.
Terdengar suaranya mengangkat telpon.

"Lexi, elo dimana? Gue nunggu da..."

"Ini Alex. Lexi ketinggalan handphone nya. Bukannya dia udah kesana dari jam 7 lewat? Mestinya sampe sana jam 9, kan?"

"Bukannya dia mau berangkat pake pesawat jam 5?" aku bertanya bingung.

"Tadi pesawat jam 5nya udah penuh. Jadi dia naik yang jam 7, tapi hpnya ketinggalan di rumah dalam keadaan mati."

"Oh, pantes daritadi gue telpon daritadi nggak bisa." aku menjawab. "Lah, terus kenapa elo nggak ngasih tau gue dari tadi?"

"Gue bingung soalnya hp elo juga nggak aktif." Alex terdengar kuatir.

Aku menepuk dahi saat teringat adegan kumatikan hp.
Aku langsung berlari keluar apartemen.
Sebelum menutup pintu, aku berbalik kepada mereka berdua.

"Maaf, saya keluar sebentar. Urgent! Nggak lama kok."

Sebelum salah satu dari mereka sempat menyahut, aku langsung berlari keluar.
Sampai diluar apartemen, aku masuk ke taksi yang pertama kali lewat di hadapanku.

"Airport, please. And please be hurry!"

Supir taksi itu mengangguk dan ngebut ke airport.
Dengan gelisah, kupandangi lampu jalanan yang seolah berlari menjauh sepanjang jalan.
Apakah Lexi masih mencariku di airport? Sekarang sudah jam 10 malam.
Sudah sejam lebih dia disana.
Harusnya aku lebih bersabar dan menunggu.

Perjalanan memakan waktu sejam.
Pukul 11 aku baru sampai di bandara.
Setelah sampai, aku langsung membayar dan turun secepat kilat.
Aku menuju ke gerbang kedatangan dan menghampiri informasi.

"Excuse me, the plane from Indonesia, when was the last flight?" aku bertanya pada bagian informasi tentang pesawat yang terakhir kali sampai.

"Do you know the flight number, miss?"

"By...Garuda Indonesia. GI...erghh... I forgot the number." aku mencoba mengingat - ingat nomor penerbangannya.

"GI...arrived at 9.15 p.m. But there are 6 flights today by GI. Do you want me to check the direct flight, or the transit flight?"

Aku menggaruk kepalaku sambil berpikir keras.
Aku tidak tahu apakah Lexi naik yang langsung atau transit.

"Never mind... Thank you." aku menjawab kepada petugas informasi kemudian berjalan menjauh dari sana.

Aku duduk di bangku panjang tempatku menunggunya tadi.
Kupandangi orang - orang yang menunggu kedatangan penerbangan lainnya.
Pelupuk mataku tergenang air.
Tanpa terasa, lagi - lagi aku menangis.

Dimana Lexi berada sekarang?
Harusnya, paling telat pun dia akan sampai pukul serengah 10 disini.
Tapi sekarang sudah jam 11 malam, dan tidak ada tanda - tanda darinya.
Pikiranku buntu, entah harus mencari kemana lagi.

Tadi, harusnya aku menunggu lebih lama, setengah jam saja.
Pasti akan bertemu dengannya jika aku menunggu lebih lama.
Harusnya aku tidak keburu emosi dan meninggalkannya disini tanpa handphone.
Bagaimana kalau dia tersesat?
Sekarang, tidak ada yang bisa kulakukan.



Aku memutuskan untuk kembali ke apartemen.
Pasti Rei dan Rudolf sedang menunggu di apartemenku.
Aku tidak enak juga membiarkan tamu menunggu di apartemenku.
Untunglah papa sedang dinas ke thailand, jadi tidak ada di apartemen untuk sementara.

Dengan taksi, aku kembali ke apartemen.
Radio di dalam taksi memutar lagu - lagu manis.
Udara terasa dingin karena sekarang bulan februari.
Sampai di depan apartemen, aku turun dan membayar taksi.

Aku naik ke lantai 12, dan membuka kamarku.
Tapi yang kudapat di depan mataku, adalah ruangan gelap gulita.
Seingatku, aku tidak mematikan lampu saat pergi.
Kulirik jam yang sudah lewat tengah malam.
Ataukah Rei dan Rudolf sudah tidak sabar menunggu sehingga mereka pergi duluan dan mematikan lampu?

Aku menutup pintu kemudian mencari - cari saklar.
Di tengah ruangan gelap gulita ini, aku tidak bisa melihat apapun.
Saat tanganku ingin menekan saklar, malah aku menyentuh sesuatu.
Seperti tangan orang.
Seketika bulu kudukku merinding dan aku langsung menjerit sekeras - kerasnya.

"Aaaa...!!!!!! Hmmpp..!" mulutku dibungkam.

"Jangan jerit, nanti disangka gue ngapa - ngapain elo."

Suara ini...Lexi?!
Aku menyingkirkan tangan yang menutup mulutku ini.
Kunyalakan lampu tepat di sebelahku.
Di hadapanku sudah berdiri Lexi yang menatapku dengan bingung.

"Lexi, elo kemana?! Gue nyariin dari tadi..." aku bertanya dengan panik.

"Sori...gue ceroboh ninggalin hp di rumah. Waktu nelpon ke handphone elo, nggak nyala juga. Makanya..."

Aku langsung menutup mulutnya dengan jari.
Semakin Lexi berusaha menjelaskan, aku makin merasa bersalah.
Sikapku yang kekanakan dan mudah marah.
Aku menyandarkan kepalaku di dadanya.
Lexi mengelus kepalaku kemudian mencium rambutku.

"I miss you." katanya.

Wangi parfum yang sama seperti 2 tahun lalu.

"Tadi pasti kesel gue telat?" Lexi menebak sambil meledek.

"Nggak tuh..." aku menyangkal.

"Masa? Kata tamu kita...elo kesel gitu..."

Aku melepaskan diri dari Lexi dan celingukan mencari Rei dan Rudolf.

"Mereka kemana?" aku bertanya pada Lexi.

"Udah gue unjukin jalan ke hotel. Habis, tuan rumahnya malah panik nyariin pacarnya..." Lexi lagi - lagi menggodaku sambil melet - melet.

Aku salah tingkah kemudian berjalan ke dapur untuk mengambilkan minuman.
Kuambilkan segelas coca cola dingin untuknya.
Saat aku menuang cola ke dalam gelas, dia memelukku dari belakang.

"Waktu gue nggak ada, kangen nggak?"

Aku menghentikan kegiatanku dan meletakkan botol cola di meja.
Masa' harus kukatakan jelas bahwa...aku bukan hanya kangen tapi kangen setengah mati padanya?
Bisa - bisa nanti seumur hidup dia meledekku habis - habisan.

Aku berbalik badan dan menatap sepasang matanya yang melihatku dalam - dalam.
Ya...aku sudah bertekad harus lebih jujur padanya, terutama pada diriku sendiri.
Aku teringat kalimat Rei, jika tidak kukatakan yang sebenarnya, bagaimana dia bisa tahu apa yang kurasakan?

"Kangen banget. Bahkan saat elo ngilang 2 sampe 3 hari, gue hampir mati kangen. Apalagi setahun belakangan ini,...kita makin renggang. A..."

Kalimatku disetop oleh bibirnya yang menghentikanku bicara.
Tanpa aba - aba, dia sudah menciumku.
Aku menutup kedua mata dan melingkarkan lenganku di belakang lehernya.
Dia sendiri, memeluk pinggangku.

Aku jadi teringat saat pertama kali latihan dansa dia memegang pinggangku.
Saat itu, sama sekali tidak terpikir olehku bahwa orang inilah yang akan kucintai.
Lexi mundur selangkah.
Dia mengeluarkan sebuah kunci dari sakunya.

Aku mengerutkan dahi dan memandangi kunci itu.
Terdapat hangtag dengan angka 1205 disana.
Mataku membesar saat menyadari apa yang dipegangnya.

"Itu...kunci rumah?"

"Hmm...hampir bener. Ini kunci kamar sebelah.." Lexi tersenyum puas melihat ekspresiku yang terkejut.

Aku melonjak kaget bercampur senang.
Kemudian kupandangi kunci itu.

"Tapi...kenapa? Kenapa pindah kemari?"

"Karena, pasangan muda butuh tempat tinggal baru, kan?"

"Maksudnya?" aku bertanya bingung.

"...I want to marry you." Lexi menjawab dengan lembut. "Will you be with me to spend my whole life? Will you be my wife? Forever, will you say that you love me?"

Dengan mata berkaca - kaca, hati yang disesaki oleh rasa haru, dan perasaan yang melonjak bahagia, tanpa ragu kujawab dengan mantab.

"I won't say I'm In Love." kataku. "Because I don't just love you, but 'You're my Life'".

=======================

I bless the day I found you,
I want to stay around you
and so I beg you, let it be me.

Don't take this heaven from one,
if you must cling to someone
now and forever, let it be me.

Each time we meet, love,
I find complete love.
Without your sweet love
what would life be?

So never leave me lonely,
tell me you'll love me only
and that you'll always let it be me.

If for each bit of gladness
someone must taste of sadness
I'll bear the sorrow, let it be me.

No matter what the price is
I'll make no sacrifices.
Through each tomorrow let it be me.

To you I'm praying,
hear what I'm saying.
Please, let your heart beat
for me, just me.

And never leave me lonely,
tell me you'll love me only
and that you'll always let it be me,
let it be me.



Selengkapnya...

31. Final Chapter - Now And Forever

Aku masuk ke dalam mobil setelah memastikan semua pakaianku sudah masuk ke dalam koper.
Sisa barang - barang kami yang lain sudah dikirim lewat agen pindahan rumah.
Aku menoleh pada papa yang sudah duduk terlebih dahulu di bagian belakang taksi.
Papa tersenyum padaku kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke jalanan.

Taksi perlahan melaju ke bandara.
Aku mengamati selama mungkin, jalanan yang sudah kukenali selama 18 tahun ini.
Dalam hitungan jam, aku akan meninggalkan tempat ini.
Dalam hitungan jam, aku akan memulai lembar baru hidupku bersama papa.

Kupejamkan mata sambil mengingat segala hal indah yang pernah terjadi di kota ini.
Kuperhatikan pohon yang tumbuh di pekarangan kami.
Dulu aku sering berkhayal memiliki rumah pohon.
Hingga aku menyadari bahwa pohon apel tidak cukup kuat untuk menyangga sebuah rumah pohon.

Jalanan tempat aku belajar sepeda, walau pada akhirnya tetap tidak bisa mengendarainya,
Pagar tempat Lexi tertidur menungguku keluar,
Seberang jalan tempat mobilnya diparkir saat hendak menjemputku.
Aku menggelengkan kepala dan membuang pikiran itu jauh - jauh.

Setelah perjalanan panjang, taksi kami sampai di bandara.
Aku turun dan menarik koper besar berwarna merah milikku.
Koper papa berwarna hitam dan ukurannya lebih kecil dari punyaku.
Papa berjalan tepat di sebelahku.

Baru kusadari, tinggi papa tidak berbeda jauh dariku.
Dari kerutan di wajahnya, sepertinya papa kurang istirahat semalam.
Apakah papa juga gelisah sepertiku?

"Kita di gate 12. Kamu tunggu sini ya, papa mau ngurus keperluan disana."

Papa meletakkan koper dekat bangku panjang.
Aku duduk di bangku itu dan menyandarkan koperku di sebelahnya.
Bandara tidak terlalu dipadati orang hari ini.
Mengingat jam sudah malam, dan tidak sedang musim liburan.

Pasti tidak banyak orang yang berencana untuk keluar negri.
Dan mungkin hanya aku yang berencana untuk pergi meninggalkan kota ini.
Aku menghela nafas panjang.
Handphoneku berdering.

"Eva? Dimana?" terdengar suara Frey dari telpon.

"Oh, deket kafe....pintu utara." aku menjawab.

"Oke, gue kesana sekarang."

Telpon ditutup oleh Frey.
Baru kupikirkan lagi, apakah setelah aku pergi Frey akan merindukanku?
Aku tidak akan menemukan teman sepertinya lagi di belahan negara lain.
Tidak ada lagi keisengan dia,

Saat aku sedih pun pasti akan lebih sulit untuk curhat jarak jauh.
Tidak ada lagi pertandingan makan eskrim,
Menggosipkan kakak kelas keren,
Dihukum di kelas bersama karena terlalu banyak ngobrol.

"Eva." suara Frey memecah lamunanku.

Aku menoleh ke belakang dan Frey sudah berdiri di sana.
Dan...ternyata dia membawa Martin serta Alex ikut serta.
Oh, ada Lyn juga disana.
Aku sama sekali tidak menyangka bahwa Lyn akan ikut mengantarku pergi.

Aku langsung bangkit dan merangkul Frey.
Dia pun merangkulku erat.

"I'm going to miss you. A lot." Frey berkata dengan nada getir. "Janji, jangan pernah sekalipun absen messengeran. Minimal sms."

Aku mengangguk.
Duh, mataku mulai digenangi oleh air.
Rasanya berat sekali berpisah darinya.
Frey pun tampak sangat sedih hingga menyembunyikan wajahnya dengan membalik badan.

Aku menoleh pada Alex dan Lyn yang sedang berdiri di belakang Frey.
Alex maju ke hadapanku dan memberikan secarik amplop padaku.

"Ini, baca di pesawat." dia berpesan.

"Emang isinya apa?" aku bertanya.

"You will know when you read it." Lyn menimpali pertanyaanku.

Aku menganggukkan kepala dan menoleh pada Martin.

"Nggak ada gue, elo mesti jagain Frey ya."

"Nggak usah disuruh juga, udah amanat gue untuk jagain dia..." Martin merangkul Frey yang berdiri di sebelahnya.

Aku tersenyum lega.
Setidaknya Frey akan punya tempat untuk bersandar saat dia kesepian.

"Eva...ayo ke pintunya." suara papa berseru dari belakangku. "Eh, teman - temanmu udah datang."

"Oom, Eva-nya nggak boleh disini aja?" Frey meminta dengan mata berkaca - kaca.

"Maaf ya, Frey. Oom juga maunya nggak pindah dari sini dan misahin Eva dari kalian. Tapi, yakinlah oom bakal bawa dia kemari sesering liburan. Terima kasih udah jagain Eva selama disini, nemenin 

dan jadi temen - temen Eva yang baik ya. Oom berterima kasih."

Setelah saling bertatapan, aku menarik koper dan berjalan menuju ke gate 12.
Setelah menyerahkan tiket kepada petugas, aku dan papa berjalan sepanjang koridor menuju pesawat.
Aku sempat menoleh dan melihat mereka semua sedang melambaikan tangan padaku.
Akupun tidak kuat menahan tangis namun tetap berusaha tersenyum.

Sampai di dalam pesawat, aku duduk di bangku yang tertulis di dalam tiket.
Bangku yang kudapat tepat berada di samping jendela.
Bisa kulihat langit malam yang cerah seakan turut mengantar kepergianku.
Aku menghela nafas panjang.
Ternyata sampai akhir pun Lexi tidak muncul walau hanya untuk mengantar kepergianku.


Aku teringat pada surat yang diberikan oleh Alex tadi padaku.
Kubuka amplop yang berisi secarik kertas di dalamnya.

Dear Eva...
Sekuntum bunga matahari di tengah padang rumput.
Begitulah gue mengibaratkan elo.
Selama 4 hari ini, kita hampir selalu bareng.
Satu hal yang harus elo tau sebelum elo berangkat adalah...
Lexi sayang banget sama elo.
Bukannya dia nggak menginginkan elo untuk ada di samping dia.
Justru karna dia ingin yang terbaik bagi lo, jadi dia merelakan elo pergi.
Dia nggak mau menahan kepergian elo, dan bikin elo memilih antara dia atau bokap lo sendiri.
Mungkin elo bakal marah sama gue setelah ini.
Tapi gue selalu menghantui elo selama 4 hari ini yaitu atas permintaan dia.
Lexi minta gue untuk jagain elo dan selalu bikin elo senyum, selagi dia nggak ada.
Lexi selama seminggu ini...


"Permisi pak. Sepertinya putri anda bermasalah tiketnya." mendadak seorang pramugari menghampiri papa.

Papa tampak bingung dan menatapku.
Aku mengalihkan pandangan dari surat dan menatap pramugari itu.
Kumasukkan surat itu ke dalam saku celana.

"Eva ke bagian tiket sebentar deh pa. Mungkin salah paham." aku bangkit dari bangku.

Aku berjalan kembali ke pintu masuk pesawat.
Setelah menyibakkan tirai merah yang membatasi antara koridor dan pintu pesawat, aku diam terpaku.
Koridor panjang yang tidak berdinding itu, memperlihatkan jelas pemandangan sekitar.
Kelap kelip kecil, melayang di sepanjang koridor.

Ratusan, bahkan ribuan cahaya kelap kelip beterbangan memenuhi udara.
Aku yakin tidak melihatnya saat tadi masuk menuju pesawat.
Saat kuperhatikan dari dekat, ternyata kunang - kunang!
Ya...firefliesl atau kunang - kunang yang jumlahnya tidak terbayangkan.

Aku terpaku selama beberapa detik, sebelum sosok pria yang muncul dari tikungan berdiri dan menatapku.
Senyum lembut mengembang dari wajahnya.
Dari balik punggungnya, dia mengeluarkan sebuah buket mawar merah, dan sekotak CD.
Lexi berjalan maju dan menyerahkan buket itu padaku.
Saking speechlessnya, tidak sepatah katapun mampu keluar dari mulutku.

"Maaf ya...seminggu ini ngilang." dia menampakkan wajah bersalah.

Aku kesal! Kesal sekaligus senang.
Saking senangnya, aku sampai tidak bisa menahan emosiku sendiri.
Aku memukulnya. Kupukul badannya berkali - kali.
Tangis mengalir dari mataku.

"Jahat...jahat...kenapa baru sekarang muncul? Kenapa seminggu ini nyuekin terus?! Gue pikir elo nggak peduli sama gue lagi... Gue pikir..."

Lexi langsung menarikku ke dalam pelukannya.

"Denger nggak detak jantung ini?" Lexi bertanya dengan lembut. "Gimana mungkin nggak peduli...kalau setiap kali dia berdetak, nyebutin nama Shelva?"

Lexi melepaskan telingaku dari dadanya.
Dia menempelkan dahinya di dahiku.

"Dan seandainya bisa baca pikiran...otak ini nggak berenti mikirin eva seorang..."

Tangisku berkurang, hanya jadi sesengukan.

"Sekarang, kita nggak hanya liat. bintang jatuh... seperti waktu di pantai. Sekarang kita berdiri disini....di tengah ratusan bintang.... Nggak mau make a wish?"

"Waktu di pantai, gue udah memohon agar bahagia... dan sekarang udah terkabul..."

"Hmm...tapi gue masih ada permohonan yang belom terkabul..."

"Apa?" aku bertanya.

Lexi maju dan mendekatkan wajahnya padaku.
Perlahan, namun lembut dia mengecupkan bibirnya di dahiku, di kedua pipiku, dan yang terakhir di bibirku.
Untuk sepersekian detik, aku menutup kedua mata.
Seperti listrik yang menyengat seluruh sel otakku.

Tidak bisa kugambarkan dengan kata - kata, betapa sebuah kecupan darinya bisa mematikan dan mengosongkan pikiranku.
Seketika, seperti bumi yang kupijak mengambang.
Rasa hangat menjalar di hatiku
.
Kurasakan tangan kanannya mengambil tangan kiriku yang tidak memegang bunga dan CD darinya.
Setelah melepaskan bibirnya, dia meraih sebuah benda dari sakunya.
Disematkannya sebuah cincin berwarna perak berkilauan di jari manisku.
Aku terpaku dan menatap jari manisku.

Lexi menekuk lutut kanannya dan bersimpuh di koridor.
Ditemani pemandangan langit yang penuh kelap kelip dari kunang - kunang...
Lexi terlihat jauh lebih berkilauan.

"Shelva...will you be mine, now and forever? Nggak peduli seberapa jauh jarak misahin kita?"

Hah?! Dalam keadaan seperti ini dia malah melamarku?!
Jantungku belum siap menerima sengatan yang lebih daripada ini.
Tapi...hatiku tidak mampu berbohong lagi.
Tidak ada alasan bagiku untuk berkata tidak.

"Asalkan janji satu hal..."

"Anything for you." Lexi menyanggupi dengan mantap.

"Jangan...pernah menghilang lagi." aku meminta.

"I swear."

Aku tersenyum bahagia kemudian mengangguk.

"Kalau begitu, mulai sekarang jagain gue baik - baik ya..." aku berpesan.

Lexi tersenyum lebaaaar sekali.
Ekspresinya sangat senang kemudian dia langsung bangkit berdiri.
Untuk terakhir kalinya, dia mencium dahiku dan melepasku dengan sebuah senyum lebar.
Saat aku berbalik untuk masuk pesawat, aku terhenti dan menghadapnya kembali.

"Terus, kemarin kok nyuekin gue seminggu penuh?! Kata Alex, sms dan telponan terus. Sama siapa? Ngaku!" aku mengintrogasinya.

"Itu...semingguan tiap malem gue ngumpulin ini." katanya sambil menunjuk mahluk berkilauan yang terbang di sekeliling.

"Ngumpulin??"

"Iya...gue minta tolong temen - temen, hunting ke berbagai tempat jauh. Nyari info, telpon sana sini, ngumpulin sebanyak ini..." dia menjawab. "Liat nih...tangan bentol - bentol semua digigit nyamuk hutan..."

Lexi merajuk manja sambil memperlihatkan lengannya yang terdapat banyak sekali gigitan nyamuk.

"Tapi nggak mesti nyuekin juga, kan?"

"Itu...emang belom baca surat dari Alex?"

"He? Belom selesai...kepotong di bagian akhir... sampe ...'Lexi selama seminggu ini...'"

Aku mengeluarkan surat dari kantongku dan membaca lanjutannya.

Lexi selama seminggu ini sibuk nyiapin kejutan buat elo.
Dan dengan ngilang, dia pingin nge test satu hal...bahwa dia bener - bener berarti buat elo.
Bahwa elo bener - bener serius sayang sama dia.
Terbukti kan, dia ilang seminggu elo nyariin dia, kangenin dia setengah mati?
Dan, elo sama sekali nggak kepancing dengan segala jenis jurus gue untuk ngedeketin elo?
Hahaha...
Yaudah, semoga bahagia bareng dia ya.
P.S. Gue yakin yang bisa bikin elo bahagia cuma Lexi. Saat balik lagi kesini, harus menyandang status 'kakak ipar' gue ya! 

Seusai membaca surat itu aku mengerutkan dahi.

"Huhh......childlish dehhhh....masa pake nge-test segalaa??" aku ngambek.

"Sendirinya juga pake tanding bareng Lyn... mau ngetest gue kan?" Lexi meledek.

"Kok bisa tau??" aku panik.

"Dia sendiri yang ngaku ke gue. Hahaha... " Lexi mencubit pipiku. "Jadi kita impas sekarang, oke?"

Kami tertawa bersama, kemudian aku masuk ke dalam pesawat.
Tepat setelah itu, pesawat lepas landas.
Aku memandang kumpulan kunang - kunang yang semakin terlihat kecil saat pesawat terbang semakin tinggi.
Kuhirup wangi buket mawar yang berada di tanganku, dan sepotong kertas yang tersemat di dalamnya.

...Until the day the ocean doesn't touch the sand
Now and forever, I will be your man...
Selengkapnya...